Oleh: Ammar Assyifa Habibullah
Pada tanggal 14 Juli 2021, Komisi Eropa merampungkan rancangan proposal terkait upaya mengatasi perubahan iklim dan lingkungan yang dinamai dengan kesepakatan hijau Eropa. Kesepakatan ini merupakan sebuah langkah yang bertujuan untuk memangkas emisi gas rumah kaca negara-negara di Uni Eropa (UE) sebesar 55% pada tahun 2030. Mekanisme dilakukan melalui emissions trade system (ETS) dengan kebijakan carbon border adjustment mechanism atau penyesuaian batas karbon di setiap produk impor. Langkah itu diharapkan akan dilaksanakan dalam dua tahap. Dalam tahap transisi (2023-2025), para importir akan diminta untuk mengawasi dan melaporkan jejak emisi (emission footprint) dari produk yang diimpor. Produk-produk yang akan dimonitor antara lain besi dan baja, semen, pupuk, aluminium, serta bahan pembangkit listrik. Pasalnya, produk ini didapuk memiliki risiko kebocoran karbon yang paling tinggi. Setelah masa transisi selesai maka importir diharuskan membayar penyesuaian tarif dengan membeli sertifikat sesuai harga karbon yang seharusnya dibayarkan jika barang produksi dibawah aturan penetapan harga karbon UE. Di bawah skema yang diusulkan, produsen Eropa dapat menghindari membayar retribusi jika produsen non-UE atau para eksportir non-UE dapat menunjukkan bahwa mereka telah membayar harga karbon yang sebanding di negara tempat mereka berada. ( ec.europa.eu )
Pajak pembatasan karbon UE diperkirakan akan mengubah lanskap persaingan industri dengan menempatkan produsen karbon tinggi pada posisi yang sangat tidak menguntungkan, dibandingkan dengan perusahaan di Uni Eropa atau pesaing asing yang memiliki jejak karbon lebih kecil. Jika perusahaan-perusahaan ini tidak dapat beradaptasi dengan cepat mengurangi jejak karbon mereka, maka mereka berisiko kehilangan pangsa pasar baik untuk pesaing yang berbasis di UE atau mereka yang berada di negara yang lebih efisien karbon. Sedapat mungkin, mereka dapat beralih ke pemasok input yang berproduksi di dalam UE, pemasok input dengan intensitas karbon yang lebih rendah, atau negara dengan mekanisme yang setara untuk menetapkan harga karbon. Jika alternatif rendah karbon terbatas, mereka terpaksa untuk mengeluarkan biaya tambahan.
Disamping itu, para produsen di Uni Eropa memperoleh keuntungan tersendiri dengan adanya pajak pembatasan karbon karena mereka telah mengurangi jejak karbon dalam produk selama bertahun-tahun melalui investasi dalam teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energi. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan Eropa dapat memindahkan produksi intensif karbon mereka ke luar negeri dengan mudah untuk mengambil keuntungan dari standar lingkungan yang longgar di beberapa negara. Disisi lain, banyak pabrik di negara non UE mempunyai kemampuan beradaptasi yang lebih lambat untuk menerapkan energi ramah lingkungan, maka hal itu menyediakan keunggulan biaya bagi produsen UE sehingga mekanisme CBAM dianggap oleh banyak negara sebagai mekanisme yang menghambat dan melanggar aturan perdagangan serta memunculkan anggapan bahwa Uni Eropa sedang melakukan tindakan proteksionisme bagi industri mereka.(euractiv.com)
Berbicara mengenai efektifitas CBAM, dapat dikatakan bahwa mekanisme ini telah dipuji oleh beberapa ahli sebagai aksi stimulus untuk kebijakan iklim. (Walaupun penelitian Bertlesmann Stiftung memperkirakan kebijakan ini hanya mengarah pada pengurangan sebanyak 0,2 presentase dari total CO2 yang dibuang secara global). Akan tetapi, mekanisme ini juga dicap sebagai pemicu perang dagang baru antara blok UE dengan mitra dagangnya karena Uni Eropa mempunyai ambisi dalam mengejar target netralitas iklim yang lebih tinggi. Hal ini akan membuat banyak industri dan pemerintah non-Uni Eropa khawatir pajak karbon bakal menambah beban pajak hingga miliaran euro. Kalkulasi ini menjadi tanda peringatan bagi pemerintah mengingat pendapatan pelaku usaha akan menurun drastis dan berujung menggerus penerimaan negara terutama di developing countries.
Salah satu tantangan utamanya adalah ketika mekanisme ini harus berhadapan dengan aturan perdagangan World Trade Organization (WTO), Prinsip perdagangan bebas “non-diskriminasi dan preferensial khusus negara berkembang” menjadi sesuatu yang harus dipatuhi oleh Uni Eropa. Penerapan CBAM berpotensi melanggar prinsip, jika blok tersebut membedakan dan menetapkan tarif yang berbeda antara produsen yang berasal dari negara berkembang yang memiliki sistem karbon longgar dengan negara maju yang sudah menerapkan pajak karbon secara nasional. Melalui sistem tersebut, negara-negara non-UE juga akan ditekan untuk mengembangkan mekanisme penetapan harga karbon mereka sendiri. Walaupun GATT sudah memberikan pengecualian karena alasan lingkungan, CBAM tetap harus dirancang untuk memenuhi persyaratan secara tepat bahwa mekanisme tesebut dapat berjalan secara adil dan berkelanjutan serta memastikan bahwa rencana itu mendapatkan dukungan secara global. ( Reuters and Bisnis.com)
Comments