Perekrutan anak-anak sebagai tentara aktif atau tambahan dalam perang adalah salah
satu perkembangan yang paling mengerikan dalam sebuah konflik atau perang. Tentara anak
adalah anak yang terkait dengan angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata mengacu pada
setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang atau telah direkrut atau digunakan oleh
angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata dalam kapasitas apa pun, termasuk namun tidak
terbatas pada anak-anak, anak laki-laki dan anak perempuan, digunakan sebagai pejuang, juru
masak, kuli angkut, mata-mata atau untuk tujuan seksual. Istilah ini tidak hanya mengacu pada
seorang anak yang ikut atau terlibat langsung dalam permusuhan (Prinsip Paris tentang
Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, 2007). Terlepas dari apapun perannya,
penggunaan anak dalam suatu konflik bersenjata adalah hal yang salah karena mayoritas anak-
anak yang terlibat dalam konflik mengalami kekerasan tingkat akut baik sebagai saksi, korban
langsung dan sebagai partisipan yang dpaksa. Perekrutan dan penggunaan tentara anak dalam
konflik bersenjata umumnya terjadi di negara-negara konflik, contohnya Yaman.
Situasi di Yaman pasca revolusi 2011 tidak kunjung membaik. Puncak konflik di Yaman
dimulai pada tahun 2014 ketika kelompok Houthi melaakukan pemberontakan dan Upaya
kudeta terhadap rezim Mansour Hadi. Dinamika konflik semakin meningkat ketika adanya
campur tangan dari pihak lain yaitu Iran – pendukung kelompok Houthi – dan Arab Saudi –
pendukung pemerintah Hadi – yang juga melakukan aksi bersenjata. Konflik bersenjata yang
berkepanjangan di Yaman mendorong perekrutan anak-anak sebagai tentara oleh kelompok
bersenjata Houthi yang lebih dikenal sebagai Anshar Allah (Afrah, 2023). Kelompok Houthi
menggunakan pola rumit untuk merekrut anak-anak secara paksa dan menempatkan mereka di
wilayah musuh yang berada di bawa kendali Houthi di Yaman. Akibatnya, banyak anak
terbunuh dan ratusan lainnya terluka. Berdasarkan laporan yang berjudul Militarizing
Childhood, perekrutan ini menggunakan sistem pendidikan yang menghasut kekerasan dan
mengajarkan ideologi kelompok melalui ceramah khusus di dalam fasilitas pendidikan resmi
untuk mengisi siswa dengan ide-ide ekstremis dan mendorong mereka untuk ikut berjuang
mendukung aksi militer kelompok tersebut (Euro-Med Monitor, 2021).
Houthi menggunakan sistem paksa dengan mengancam keluarga-keluarga yang
memiliki anak di desa dan daerah-daerah yang dikuasai Houthi untuk memaksa mengizinkan
perekrutan anak-anak mereka, termasuk anak-anak di kamp pengungsian dan panti asuhan
(Reliefweb, 2021). Muncul kekhawatiran terkait aktivitas Houthi yang menyuplai pikiran
sederhana mereka dengan ide-ide ekstremis dan mengisi anak-anak Yaman dengan ujaran
kebencian dan kekerasan, sehingga menciptakan ekstremis di masa depan yang mungkin tidak
mudah dikendalikan mengingat besarnya jumlah anak-anak yang terlibat dalam operasi militer.
Perekrutan anak-anak untuk berperang di Yaman bukan hanya merupakan isu hak
asasi manusia yang mendasar; ini juga merupakan masalah perdamaian yang mendalam.
Oleh karena itu, diperlukan peran dari organisasi internasional untuk menyelesaikan atau
setidaknya mencegah penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata di Yaman, salah
satunya adalah International Committee of The Red Cross (ICRC). Tugas utama ICRC adalah
memastikan perlindungan dan bantuan bagi para korban konflik bersenjata dan pertikaian..
Guna menganalisis kontribusi ICRC, maka perlu melihat setiap kegiatan yang
dilakukan oleh ICRC. Menurut Clive Archer, terdapat tiga peran organisasi internasional
dalam menjalankan tugasnya yaitu instrument, arena dan actor.
• ICRC sebagai instrument dan arena
Sebagai intstrumen: Dewan Delegasi Gerakan yang mewakili ICRC, Federasi
Internasional, dan Perhimpunan Nasional telah mengesahkan Rencana Aksi Tentang
Anak dalam Konflik Bersenjata pada tahun 1995. Rencana ini bertujuan untuk
mendorong kebijakan untuk menghindari perekrutan dan keterlibatan anak-anak di
bawah usia 18 tahun dalam konflik bersenjata serta mendorong inisiatif untuk
melindungi dan membantu anak-anak yang menjadi korban konflik (ICRC, 2012).
Sebagai Arena : ICRC dapat disesuaikan sebagai arena dan sebagai instrumen.
Dalam hal ini, OI dapat berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan forum untuk
membahas masalah tertentu. Hasil dari pertemuan dapat berupa diskusi dan kerja sama.
Sebagai organisasi internasional yang menjalankan misinya di Yaman, ICRC
melakukan tugasnya sebagai arena dengan bekerja sama dalam mempromosikan
Hukum Humaniter Internasional dan Prinsip Kemanusiaan (ICRC, 2017). Tujuannya
adalah agar semua pihak yang terlibat dalam konflik dapat menerapkan dan
menghormati nilai-nilai kemanusiaan di wilayah konflik. Kerjasama tersebut dilakukan
dengan aktor-aktor yang berpengaruh untuk mendapatkan penerimaan atas misinya di
antara para pengambil keputusan di semua tingkat pihak yang berkonflik, serta aktor-
aktor yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat sipil dan masyarakat umum. Dalam
sesi diseminasi yang dilakukan akan membantu pihak-pihak yang berkonflik.
• ICRC sebagai actor
Dalam mencapai tujuannya, ICRC mampu bertindak secara mandiri tanpa
intervensi dari pihak lain. Anak-anak yang ditugaskan sebagai tentara dibantu oleh
ICRC dengan melakukan demobilisasi dan menawarkan dukungan untuk reintegrasi
dengan keluarga dan masyarakat sehingga mereka dapat kembali ke masa anak-anak
pada umunya (ICRC, 2010). Reintegrasi perlu dilakukan karena ketika anak-anak
direkrut ke dalam kelompok bersenjata, mereka biasanya terpisah dalam jangka waktu
yang lama, sehingga setelah mereka berhasil terlepas dari kelompok bersenjata, mereka
berhak atas perlakuan khusus, yaitu kembali kepada keluarga mereka seperti semula.
Inilah alasan pemulihan keluarga ini dilakukan. Pada Agustus 2018, ICRC merima
penyerahan anak-anak yang akan bergabung dengan Houthi untuk dikembalikan
kepada keluarga mereka. Penyerahan ini dilakukan di Kementerian Hak Asasi Manusia
dan dihadiri oleh UNICEF. Sebanyak 31 anak dikembalikan kepada keluarga mereka
(Yurou, 2018).
Penggunaan tentara anak dalam konflik senjata memang harus dicegah. Perang,
kekerasan, idelogi ekstrim, dan ujaran kebencian memberikan dampak buruk terhadap
perkembangan anak dan berbahaya bagi masa depan. Kontribusi ICRC dalam meminimalisir
penggunaan tentara anak di Yaman belum terlalu jelas. Aturan yang diadopsi oleh ICRC pun
tidak terlalu kuat sehingga tidak mengikat kelompok Houthi maupun pemerintah Yaman itu
sendiri. Peran ICRC setelah mengembalikan anak ke keluarganya juga belum terlihat seperti
memberikan bimbingan psikolog untuk memperbaiki kestabilan mental dan trauma anak. Peran
ICRC dalam konflik tersebut kurang maksimal karena ICRC bukan organisasi internasional
dengan dasar yang jelas, meskipun telah dimasukkan ke dalam beberapa Konvensi dalam
Hukum Humaniter terkait perlindungan anak sebagai warga sipil dalam konflik bersenjata di
Yaman dan Protokol-protokol tambahan.
Comments