top of page
Writer's picturevisualpublikasi202

PERAN PBB DALAM PERISTIWA GENOSIDA RWANDA



Pelanggaran terhadap HAM dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat ketika

pelanggaran yang dilakukan oleh suatu pihak dapat membahayakan atau mengancam nyawa

manusia. Tindakan genosida merupakan salah satu dari empat jenis pelanggaran HAM berat,

tiga tindakan lainnya adalah kejahatan perang, kejahatan agresi, dan kejahatan kemanusiaan

(Wardani. 2023). Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau

budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena kelompok

tersebut sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah internasional dalam suatu

negara (Prasetyo. 2020).


Kasus pelanggaran HAM berat genosida pernah terjadi di Rwanda pada 6 April 1994

dengan melibatkan suku Tutsi dan suku Hutu. Tindakan genosida ini melibatkan kurang lebih

800.000 korban jiwa dari 7,4 juta jiwa penduduk Rwanda. Kasus genosida yang terjadi di

Rwanda mengakar pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Rwanda, Juvenal

Habyarimana berencana menyatukan tiga etnis di Rwanda, yaitu etnis Hutu, Tutsi, dan Twa.

Kebijakan yang digagas oleh Habyarimana di tuangkan dalam Piagam Arusha pada tahun 1993.

Gagasan Habyarimana mendapat penolakan dari etnis Hutu, akibatnya setelah

Habyarimana mengangkat Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi sebagai Perdana Menteri

timbul rasa kekecewaan dari kelompok militan yang ingin mempertahankan pemerintahan

satu suku. Kekecewaan yang amat berat dari kelompok militan terhadap keputusan

Habyarimana berakhir pada tindak pembunuhan pada Habyarimana melalui penembakan

ketika berada di pesawat. Peristiwa inilah yang menyebabkan pembantaian etnis secara

massive di Rwanda. Dalam hitungan jam, seluruh wilayah Rwanda diblokade oleh Angkatan

bersenjata Rwanda yang bekerja sama dengan Interahamwe dan Impuzamugambi. Imbas dari

tindakan ini adalah pembantaian terhadap etnis Tutsi dan Hutu moderat mencapai 800.000

manusia dalam kurun waktu 100 hari, menjadikan kejadian ini sebagai tindakan genosida

tercepat.


Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sebagai organisasi global memiliki kewajiban untuk

menjaga perdamaian dan keamanan global. Kejahatan genosida sudah diatur dalam Pasal 2

Konvensi Tentang Pencegahan dan penghukuman terhadap Kejahatan Genosida yang

kemudian diabsorbsi oleh Statuta ICC dan kemudian dimasukkan dalam Undang-undang No.

25 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Tutkey. 2021).

Pada 6 april 1994, PBB bertindak dengan dasar Piagam PBB VI, dengan mengirimkan

2.539 pasukan United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) (Stanton.

2004). Namun, tindakan yang dilakukan oleh PBB dinilai kurang untuk menghalau para pelaku

genosida di Rwanda yang diperkirakan mencapai 100.000 orang. UN-AMIR perlu

mengerahkan kekuatan penuh dengan senjata berat dan dibantu jumlah bala bantuan yang

sama, bala bantuan yang terlatih dan dibekali dengan baik, serta mandat yang jelas bahwa

mereka diberi wewenang untuk menghentikan pembunuhan secara paksa. Namun usulan

tersebut ditentang oleh Amerika Serikat dan Inggris karena biaya yang akan dikeluarkan

sangat besar.


Ketika genosida dimulai, para pembuat kebijakan di Washington DC dan PBB percaya

bahwa UN-AMIR tidak akan bisa memutus rentetan pembantaian etnis Tutsi dan Hutu

moderat, sehingga mereka memutuskan untuk menarik pasukan UN-AMIR, mereka juga

menolak untuk mengirimkan pasukan mereka.


Dalam pertemuan tertutup Dewan Keamanan, yang dihadiri oleh perwakilan rezim

genosida Rwanda, Duta Besar Inderfurth mengungkapkan kebijakan AS mengenai penahanan

UN-AMIR. Hal ini kemudian berakibat fatal karena mengetahui bahwa mereka kini dapat

bertindak tanpa mendapat hukuman, mereka memutuskan untuk memperluas genosida ke

Rwanda Selatan. Minggu pertama terjadinya genosida, usulan perubahan mandat UNAMIR

untuk diberikan wewenang mengambil tindakan guna menghentikan pembantaian, usulan

kembali ditolak oleh Dewan Keamanan yang dipimpin oleh AS dan Inggris. Sebaliknya Dewan

Keamanan yang dipimpin oleh AS dan Inggris melakukan pengurangan pasukan UN-AMIR

menjadi 270 personil. Akibatnya, sejumlah 500.000 manusia dibantai, hal ini dicatat sebagai

kegagalan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan.


Keputusan yang diambil oleh AS dan Inggris dapat dikatakan sebagai tindakan yang

tidak manusiawi. AS dan Inggris lebih memikirkan biaya operasional yang akan dikeluarkan

dibandingkan dengan nyawa manusia. Tidak ada jaminan pula genosida tidak akan terjadi jika

pada saat tersebut AS dan Inggris memilih untuk mengirimkan pasukan UN-AMIR secara

penuh dan mendatangkan bala bantuan. Namun, jumlah korban dapat diminimalisir jika saja

AS dan Inggris menyetujui usulan untuk memberi mandat ke UN-AMIR.


Kegagalan dalam bertindak di masa lalu tidak akan pernah dapat diubah, termasuk

kegagalan Dewan Keamanan dalam menjaga perdamaian dan keamanan di Rwanda.

Pengandaian ‘jika PBB mengerahkan UN-AMIR’ tidak akan mengubah apapun. Sejarah

tentang kegagalan hanya dapat menjadi pembelajaran dan antisipasi agar tidak terulang di

masa depaN. Mimpi buruk pemusnahan etnis seperti yang terjadi di Rwanda dapat kembali

terulang jika tidak belajar dari sejarah.

14 views0 comments

Comments


bottom of page