top of page
Writer's pictureadmin

Respon Dan Kebijakan Uni Eropa Terhadap Pengungsi Dari Suriah

Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik yang berjalan berlarut-larut dan menimbulkan banyak korban. Keadaan ini memicu masyarakat Suriah mengungsi dari negaranya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh United Nation High Commisioner for Refugees (UNHCR), sampai dengan bulan Juli 2016 tercatat sebanyak 4.819.494 orang mengungsi dari Suriah selama konflik terjadi.1 Sebagian besar pengungsi Suriah ini pergi menuju negara-negara terdekat seperti Turki yang menampung sekitar 2,7 juta pengungsi, Lebanon, Irak, Mesir, Yordania, dan beberapa negara di kawasan Afrika Utara.


Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pengungsi menyatakan bahwa pada tahun 2015 mereka hanya akan mendanai 41% dari kebutuhan para pengungsi Suriah. Sementara itu, World Food Programme (WFP), sebuah organisasi pangan yang berada di bawah PBB memangkas bantuan untuk pengungsi Suriah yang nilainya mencapai 1,6 juta dolar pada tahun yang sama. Berkurangnya donasi dari lembaga amal membuat kehidupan para pengungsi di negara-negara tersebut semakin sulit karena mereka harus memenuhi kebutuhan mereka hanya dengan 14 dolar Amerika untuk satu bulan. Kembali ke negara asal juga bukan merupakan pilihan karena banyaknya tekanan dari kelompok-kelompok militan kepada para pemuda di Suriah untuk bergabung dengan pasukan militer di bawah pimpinan Bashar Al-Ashad. Mengungsi ke Eropa merupakan opsi yang menjanjikan bagi para pengungsi dengan harapan kehidupan mereka akan lebih terjamin di negara-negara yang jauh lebih kuat dan stabil. Alasan inilah yang kemudian mendorong banyak pengungsi dari Suriah pergi menuju Eropa untuk mendapatkan suaka.


Pengungsi dari Suriah dengan jumlah mencapai lebih dari 350.000 jiwa merupakan jumlah imigran terbanyak yang masuk ke Eropa, diikuti oleh pengungsi dari negara-negara lain, seperti Afghanistan, Irak, Kosovo, Pakistan, Nigeria, Iran, dan Ukraina.4 Pengungsi dari negara-negara selain Suriah tersebut memanfaatkan kesempatan ini sebagai peluang untuk memasuki Eropa.

Tahun 2015 merupakan tahun ketika Eropa menerima banyak imigran pengungsi. Komisi Uni Eropa mengumumkan sejak 2011 lebih dari 290.000 pencari suaka masuk ke negara-negara Uni Eropa. Jumlah pencari suaka terus bertambah hingga pada 2013 tercatat 403.610 pengungsi masuk ke Uni Eropa. Pada akhir 2015, jumlah pencari suaka naik pesat menjadi 1.222.9255.


Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh United Nation High Commisioner for Refugee (UNHCR), lebih dari 1 juta pengungsi datang ke Eropa melalui jalur laut pada tahun 2015.6 Jalur laut merupakan jalur yang paling berisiko bagi keselamatan para pengungsi. Kebanyakan para pengungsi berangkat dari Turki maupun negara-negara di Afrika Utara untuk mencapai Eropa melalui jalur tersebut. Pada tahun 2014, sebanyak 3.279 pengungsi meninggal di Laut Mediterania dalam upayanya menuju Eropa. Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2015, yakni tercatat sebanyak 3.771 pengungsi meninggal pada jalur yang sama.7 Bulan April 2015 merupakan bulan dengan jumlah kematian tertinggi yang terjadi di Laut Mediterania, yakni jumlah kematian mencapai 1.250 jiwa8. Para pengungsi yang selamat berlabuh di Yunani dan Italia kemudian menuju negara-negara tujuan utama mereka di Eropa Barat seperti Jerman dan Swedia.


Besarnya gelombang pengungsi yang datang ke Uni Eropa diikuti dengan besarnya jumlah korban jiwa yang muncul akibat proses di dalamnya memicu para pemimpin negara-negara Uni Eropa untuk membahas masalah ini secara khusus. Sebagai kawasan tujuan utama para pengungsi dan pencari suaka, Uni Eropa memiliki regulasi tersendiri untuk menangani masalah pengungsi dan pencari suaka yang diatur dalam The Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU). Pada artikel 78 TFEU disebutkan bahwa Uni Eropa harus mengeluarkan kebijakan bersama terkait para pencari suaka, pemberian subsidi, dan perlindungan sementara untuk orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional.Selain itu, penanganan masalah pengungsi dan pencari suaka di Uni Eropa juga diatur dalam Dublin Regulation. Secara garis besar, Dublin Regulation mengatur kriteria dan mekanisme bagi negara-negara anggota Uni Eropa agar dapat bertanggung jawab dalam memberikan dan memeriksa aplikasi bagi para pengungsi yang membutuhkan perlindungan internasional untuk memberikan perlindungan dan penampungan. Dalam merespons masalah pengungsi dan pencari suaka di kawasan Uni Eropa, pemerintah Jerman di bawah Kanselir Angela Merkel mengeluarkan rangkaian kebijakan yang populer disebut Open-Door Policy. Salah satu kebijakan yang menjadi magnet bagi para pengungsi ialah adanya program percepatan pemrosesan status suaka/the act of aceleration of asylum procedures. Terkait hal tersebut, Jerman menjadi salah satu negara utama tujuan para pencari suaka.


Banyak alasan yang mendasari mengapa Jerman menjadi negara tujuan utama para pengungsi dan pencari suaka, di antaranya: (1) Jerman memberikan kuota paling banyak bagi para pengungsi daripada negara-negara lain di Uni Eropa.12 (2) Jerman memberikan tunjangan paling besar kepada para pengungsi daripada negara-negara Uni Eropa lainnya. Tunjangan yang diberikan mencapai 390 euro per bulan serta disedikan fasilitas lainnya seperti akses kesehatan, kamp pengungsi, dan masa tinggal yang mencapai 3–5 bulan.(3) Pernyataan Kanselir Jerman, Angela Merkel, terkait pengungsi dan pencari suaka dari Suriah bahwa Merkel berjanji akan memberikan perlindungan ekstra kepada pengungsi tersebut serta tidak akan mengembalikan para pencari suaka yang suakanya ditolak ke jalur masuk mereka di Uni Eropa.14 Hal ini kemudian diikuti dengan masuknya 1,1 juta pengungsi dan pencari suaka ke Jerman pada tahun 2015.



-Penulis

Syukron Subkhi

Wakil Ketua KOIN 2018/2019

319 views0 comments

Comments


bottom of page