Oleh : Moevtia Kartika Dewi
Sejak hari Sabtu, 1 Februari 2020 pukul 23.00 waktu Inggris, Inggris dinyatakan hengkang dari keanggotaan Uni Eropa setelah lebih dari 3 tahun melakukan referendum. Namun Inggris diberikan waktu sampai dengan akhir tahun 2020 untuk melakukan kesepatan dagang antara pihak Inggris dan Uni Eropa. Sebelumnya, Inggris dan Uni Eropa menjalin hubungan cukup baik dibuktikan dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Inggris yang cenderung grafiknya meningkat selama menjadi anggota Uni Eropa (Saviar, 2017). Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Inggris dapat memiliki kedaulatan penuh sehingga tidak harus mematuhi peraturan dan kebijakan yang ada di Uni Eropa. Setelah kurang lebih 11 bulan, ada beberapa peraturan yang diubah setelah Inggris keluar dari Uni Eropa yaitu perturan untuk imigrasi, perdagangan, perjalanan, dan kerjasama keamanan.
Akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang paling terasa adalah kesepakatan tentang imigrasi dimana negara anggota Uni Eropa tidak lagi bebas memasuki wilayah Inggris dan harus menggunakan visa. Adanya kebijakan baru ini berimbas juga pada ekonomi Inggris. Hal ini membuat banyak perusahaan internasional yang memindahkan perusahaan/markasnya ke Eropa. Selain itu adanya kebijakan baru ini, akan ada potensi dimana barang-barang perdagangan ekspor impor tertahan di pelabuhan. Kebijakan perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa sudah disetujui oleh parlemen di tanggal 30 Desember 2020. Kebijakan tersebut menyebutkan bahwa semua manufaktur asal Inggris memiliki akses bebas tarip ke pasar internal UE (BBC, 2021). Ini artinya adalah barang-barang ekspor impor yang melalui wilayah Inggris dan UE tidak dikenakan pajak.
Kebijakan yang dibuat oleh Perdana Menteri Boris Johson ini dipandang luar biasa oleh pihak optimis namun sebaliknya sebagai penyesalan bagi sebagian pihak lain. Munculnya kekhawatiran ini membuat para penentang Brexit beropini kondisi Inggris akan lebih buruk dibandingkan saat masih menjadi anggota UE. Di bulan Juli 2020, sebelum Inggris menyepakati kebijakan dagang, PDB (Produk Domestik Bruto) Inggris naik 6,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya (Kabar24, 2020). Meskipun Inggris mengalami kenaikan PDB, pihak pendukung brexit tetap kekeh agar Inggris keluar dari UE. Namun Inggris sudah mengembalikan setengah output yang hilang selama pandemi dan lockdown dan diperkirakan pemulihan setengahnya akan sulit tercapai. Virus yang sampai sekarang masih melanda dunia juga merupakan salah satu faktor dari kekhawatiran keluarnya Inggris dari UE. Karena Inggris mengalami pengingkatan kasus virus dan pemerintah merencanakan untuk mengakhiri program tunjungan gaji untuk perusahaan, sehingga kebijakan tersebut dapat menyebabkan angka pengangguran meningkat. Diperkirakan selama masih pandemic perekonomian tidak memiliki kepastian.
Kebijakan baru lainnya adalah orang yang berasal dari Inggris dan ingin tinggal di Eropa selama lebih dari 90 hari membutuhkan visa (Sicca, 2021). Dan juga sebaliknya, orang yang berasal dari negara UE membutuhkan visa untuk datang ke Inggris. Perketatan aturan ini tentu membuat orang yang keluar masuk Inggris tidak bebas dan sangat memungkinkan juga akan adanya pengurangan pekerja asing yang bekerja di Inggris. Jika pengurangan tenaga kerja tidak diimbangi dengan adanya angkatan kerja, maka bisa saja Inggris kekurangan tenaga kerja dan mungkin membutuhkan tenaga kerja asing masuk. Apabila ini benar terjadi maka kebijakan tentang penggunaan visa ini bisa saja diubah untuk mempermudah masuknya tenaga kerja ke Inggris. Kepolisian Inggris juga telah kehilangan akses untuk dapat mengetahui data-data yang berisi peredaran buronan, sidik jari, dan juga catatan kriminal yang ada di Eropa. Sehingga kepolisian Inggris harus bekerja lebih ekstra untuk mengungkap suatu kejahatan karena tidak ada lagi kerjasama Inggris dan UE.
Jika dilihat dari uraian di atas, menyikapi kebijakan-kebijakan yang telah disepakati Inggris dan UE, Inggris harus lebih cermat dalam mengambil keputusan dan juga harus dapat memanfaatkan kekuatan ekonomi, politik, teknologi, keamanan, dan sektor lainnya dengan mandiri untuk dapat meningkatkan segala sektornya. Selain itu Inggris juga perlu memperhatikan kebijakan yang akan dan sudah dibuat dengan UE maupun negara lainnya agar tidak merasakan penyeselasan atas keluarnya Inggris dari UE. Hal yang sangat disayangkannya adalah Inggris keluar pada saat pandemi dimana seluruh negara mengalami penurunan dibidang ekonomi. Perlunya negara untuk memulihkan ekonomi tidak cepat, jika saja keputusan Inggris keluar ternyata meleset tidak sesuai harapan, maka bisa saja Inggris mengalami keterpurukan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan lain sebagainya. Dalam sebuah penelitian juga mengatakan bahwa perekonomian Inggris akan mengalami penurunan seteleh keluar dari UE (Vaitilingam, 2021). Namun ada juga kemungkinan persentase ekonomi negara anggota UE akan menurun.
Dalam mengambil keputusan tentu saja akan ada faktor negatif dan positifnya. Sehingga diharapkan dengan keluarnya Inggris dari UE, Inggris dapat memanfaatkan kedaulatan yang penuh agar tidak menjadi penyesalan dikemudian hari. Yang terpenting adalah bagaimana Inggris dapat menyelamatkan negara tanpa adanya pertolongan atau kerjasama dengan Uni Eropa. Selain itu meskipun Inggris sudah tidak lagi menjadi Anggota UE, Inggris harus tetap menjalin hubungan yang baik dengan negara anggota Uni Eropa agar tidak terjadi pertikaian sehingga hubungan ekonomi diantaranya tetap berjalan dengan normal.
Referensi
Saviar, Y.M. 2017. Mengapa Brexit? Faktor-Faktor Di Bali Penarikan Inggris Dari Keanggotaan Uni Eropa. Skripsi: Universitas Airlangga.
Minews. “Mengapa Warna Inggris Keluar dari Uni Eopa?”. https://www.minews.id/news/mengapa-warga-inggris-keluar-dari-uni-eropa, diakses pada 23 April 2021.
Lidyana, Vadhia. “ Apa yang Berubah Usai Inggris Pisah dengan Uni Eropa?”. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4882263/apa-yang-berubah-usai-inggris-pisah-dengan-uni-eropa?single=1, diakses pada 23 April 2021.
BBC. “Brexit: Era Baru Inggris Setelah Resmi Meninggalkan Uni Eropa”. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-55505028
Kabar24. “Ekonomi Inggris Melonjak di Bulan Juli, Tapi Brexit Masih Membayangi”. https://kabar24.bisnis.com/read/20200911/19/1290388/ekonomi-inggris-melonjak-di-bulan-juli-tapi-brexit-masih-membayangi, diakses pada 23 April 2021.
Sicca, S.P. “Pasca-Brexit Ini Dia Sejumlah Dampak Era Baru Hubungan Inggris-UE”. https://www.kompas.com/global/read/2021/01/01/154248070/pasca-brexit-ini-dia-sejumlah-dampak-era-baru-hubungan-inggris-ue?page=all, diakses pada 24 April 2021.
Vaitilingam, Romesh. “After Brexit: the impacts on the UK and EU economies by 2030”. https://blogs.lse.ac.uk/businessreview/2021/01/25/after-brexit-the-impacts-on-the-uk-and-eu-economies-by-2030/, diakses pada 24 April 2021.
Amadeo, Kimberly. “What Was Brexit, and How Did It Impact the UK, EU, and the US?”. https://www.thebalance.com/brexit-consequences-4062999, diakses pada 24 April 2021.
Comments