Oleh: Rahma Widya Hartati
Sepertiga bagian makanan yang bisa dimakan dan diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang sia-sia, yaitu sekitar 1,3 miliar ton per tahun (http://www.fao.org). Sebagian besar makanan di dunia dibuang begitu saja meskipun masih layak untuk dikonsumsi. Kehilangan dan pemborosan makanan yang signifikan juga terjadi di awal rantai pasokan makanan. Memperkuat ketahanan pangan bukanlah tentang memproduksi lebih banyak makanan, tetapi lebih memanfaatkan dengan bijak makanan yang sudah kita miliki. Jika kita bisa menyelamatkan hanya seperempat dari makanan yang saat ini hilang atau terbuang, kita bisa memberi makan 821 juta orang yang kekurangan gizi di seluruh dunia. Mengurangi limbah makanan harus menjadi prioritas utama jika kita ingin membantu mengurangi angka kelaparan di dunia.
Fakta yang terjadi di negara-negara industri, makanan hilang ketika produksi melebihi permintaan. Untuk memastikan pengiriman dari jumlah yang disepakati sembari mengantisipasi cuaca buruk atau serangan hama yang tak terduga, petani terkadang membuat rencana produksi di sisi yang aman, dan akhirnya menghasilkan jumlah yang lebih besar dari yang dibutuhkan. Sedangkan Di negara-negara berkembang, makanan hilang bisa terjadi karena panen prematur atau bahkan kegagalan panen. Petani kadang-kadang memanen tanaman terlalu dini karena kekurangan makanan atau sangat membutuhkan uang selama paruh kedua musim pertanian. Cara ini menyebabkan makanan kehilangan nutrisi dan nilai ekonomi, dan itu yang menyebabkan bahan makanan terbuang sia-sia.
Menjaga ketahanan pangan adalah proses kompleks yang dimulai di pertanian dan berakhir pada konsumen. Food and Agriculture Organization (FAO) adalah satu-satunya organisasi internasional yang mengawasi semua aspek rantai produksi makanan, sehingga memberikan visi 360 ° yang unik tentang ketahanan pangan. Kemitraan jangka panjang dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meningkatkan perspektif ini. Melalui mandat pelengkap, FAO dan WHO mencakup berbagai masalah untuk mendukung ketahanan pangan global dan melindungi kesehatan konsumen. WHO biasanya mengawasi dan memelihara hubungan yang kuat dengan sektor kesehatan publik, dan FAO umumnya menangani masalah ketahanan pangan di sepanjang rantai produksi makanan.
FAO membantu negara anggota dalam pertimbangan ketahanan pangan dengan memperkuat sistem kontrol pengaturan pangan nasional dengan turut andil dalam membantu otoritas nasional untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti, memampukan, dan koheren. Kemudian, membantu pemerintah meninjau dan memperbarui undang-undang pangan. Lalu mengembangkan kapasitas kelembagaan dan individu untuk melakukan inspeksi makanan, pengambilan sampel dan analisis berbasis risiko, komunikasi risiko dan manajemen keamanan pangan. FAO juga Memberikan saran ilmiah independen berbasis luas kepada negara-negara anggota melalui badan-badan ahli tentang Bahan Tambahan Makanan (JECFA), Pengkajian Risiko Mikrobiologis (JEMRA), dan Residu Pestisida (JMPR). Serta mempromosikan kesiapsiagaan darurat ketahanan pangan melalui Sistem Pencegahan Darurat FAO untuk Keamanan Pangan (Keamanan Pangan EMPRES) dan dengan cepat berbagi informasi selama keadaan darurat ketahanan pangan melalui Jaringan Otoritas Keamanan Pangan Internasional (INFOSAN).
Ketersediaan dan kecukupan pangan bukan saja berperan penting dalam pemenuhan energi kalori cukup bagi peningkatan produktivitas, melainkan juga memberikan dukungan pada peningkatan kualitas hidup dan keberlanjutan pembangunan. Faktor yang terkait dengan laju peningkatan produksi masih menjadi masalah yang sulit diatasi. Relatif tingginya laju konversi lahan pertanian (ke non-pertanian) yang sulit dicegah di satu sisi, dan laju pertumbuhan penduduk (1,49%/tahun) di sisi lain (https://www.theguardian.com). Keduanya merupakan hal yang berpengaruh besar pada pemenuhan kebutuhan pangan dari budidaya pertanian. Faktor lain yang relatif sulit dikendalikan antara lain perubahan iklim dan volatilitas harga pangan yang mengurangi insentif petani dalam memproduksi bahan pangan.
Menurut saya, persoalan mindset dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan di suatu negara masih terjadi pada para pengambil kebijakan. Sampai saat ini, membangun ketahanan pangan melalui peningkatan penyediaan pangan masih lebih banyak difokuskan pada bagian hulu, seperti peningkatan produksi baik melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam/panen, dan penekanan kehilangan hasil baik pada saat panen, pasca panen, dan pengolahan. Sebaliknya belum banyak menyentuh pada bagian hilir, yaitu pemborosan pangan yang terjadi pada tingkat pengecer dan tahap konsumsi. Oleh karena itu, fokus kebijakan membangun ketahanan pangan hampir seluruhnya tertuju pada perbaikan kinerja pada bagian hulu saja. Padahal perlu disadari bahwa membangun ketahanan pangan dengan hanya menghandalkan dari peningkatan produksi saja tampaknya akan semakin sulit untuk dilakukan karena terkendala adanya konversi lahan, perubahan iklim, dan volatilitas harga.
Berbagai upaya yang perlu dilakukan dalam mengurangi pemborosan pangan, seperti mengubah pola pikir para pengambil kebijakan bahwa sumber peningkatan ketersediaan pangan tidak hanya bersumber dari peningkatan produksi. Menekan pengurangan pemborosan pangan merupakan potensi besar dalam meningkatkan ketersediaan pangan dan membangun ketahanan pangan berkelanjutan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah selanjutnya agar tidak lagi terkonsentrasi pada peningkatan produksi, melainkan juga pada permasalah pemborosan pangan. Hal lain yang dapat dilakukan dalam upaya pengurangan pemborosan pangan adalah melalui sosialisasi dan kampanye secara intensif serta memanfaatkan ajaran agama dan kearifan lokal setempat untuk membangun budaya dan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya kehilangan nilai ekonomi pangan akibat terjadinya pemborosan terhadap bahan pangan.
Reference:
Comments