Oleh: Mely Ferawati
Plastik merupakan bahan yang sangat mudah dibentuk, serbaguna, dan tahan lama. Sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dari hal tersebut tentunya plastik memberikan manfaat, mulai dari alat medis hingga pembungkus makanan yang tahan lama. Namun, penggunaan plastik kemasan dan barang sekali pakai menimbulkan pencemaran yang kini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi beberapa decade dan meningkatnya ketergantungan terhadap produk plastik sekali pakai menyebabkan limbah yang tidak dikelola mengalir ke ekosistem perairan dan memicu sinyal masalah. Timbulnya masalah dari sampah laut dan polusi plastik karena berbagai alasan. Plastik tidak mampu terurai secara alami (dengan cara yang tidak berbahaya bagi lingkungan). Sampah plastik terurai dari waktu ke waktu menjadi potongan yang lebih kecil yang dikenal sebagai mikro plastik dan nanoplastik, yang dapat memiliki dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupan laut mulai dari kerusakan fisik atau kimia pada hewan, hingga efek yang meluas pada keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem.
Manusia juga berisiko terdampak sampah laut dan polusi plastik karena kesehatan lingkungan memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan manusia. Penelitian baru menunjukkan bahwa manusia menghirup mikroplastik melalui udara, mengonsumsi melalui makanan dan minuman, dah bahkan menyerapnya melalui kulit. Bahkah mikroplastik telah ditemukan dalam paru-paru, hati, limpa, dan ginjal, dan penelitian baru-baru ini menemukan mikroplastik di plasenta bayi yang baru lahir. Dampak polusi plastik tidak dirasakan secara merata di dunia. Negara-negara maju menghasilkan lebih banyak sampah plastik yang terlalu sering mengalir ke negara berkembang di mana dalam mengelola sampahnya tidak canggih. Daur ulang mampu mengurangi produksi dan limbah plastik, tetapi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) organisasi kerjasama melaporkan pada Selasa, 22 Februari 2022, bahwa kurang dari 10% sampah plastik di seluruh dunia yang berhasil didaur ulang.
Plastik juga merupakan salah satu masalah iklim. Tidak semua orang tahu bahwa sebagian besar plastik dihasilkan dari minyak dan gas, yang keduanya berasal dari bahan bakar fosil. Produk plastik menghasilkan emisi gas rumah kaca. Jika tidak ada tindakan yang diambil, gas rumah kaca yang dihasilkan dari produksi, daur ulang, dan pembakaran plastik mampu mencapai 19% dari total emisi yang diizinkan Perjanjian Paris pada tahun 2040 untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 ℃.
From Pollution To Solution: A Global Assessment Of Marine Litter And Plastic by UNEP (UNEP, 2021) merupakan hasil bekerja di United Nations Environment Programme Advisory Group yang memiliki tujuan mengatasi resolusi yang diadopsi Majelis Lingkungan PBB (UN/EA.4/RES.6) tentang sampah plastik di laut dan mikroplastik. Menunjukkan bahwa terdapat ancaman yang berkembang di semua ekosistem. Hal tersebut juga menunjukkan meskipun manusia memiliki pengetahuan, tetap membutuhkan kemauan dan tindakan segera dari pemerintah untuk mengatasi krisis yang meningkat. Masalah tersebut telah berkembang menjadi sebuah krisis global yang membutuhkan perhatian dan tindakan segera yang berkelanjutan. Saatnya manusia bersama-sama mengubah sampah laut dan polusi plastik dengan menerapkan solusi besar maupun kecil, dengan urgensi, inovasi, komitmen, dan akuntabilitas. "Breaking the Plastic Wave", sebuah analisis global tentang bagaimana mengubah lintasan sampah plastik, mengungkapkan bahwa kita dapat mengurangi jumlah plastik yang masuk ke lautan sekitar 80% dalam dua dekade mendatang jika kita memanfaatkan teknologi dan solusi yang ada.
Indonesia sendiri sudah mulai membuat program mengolah sampah plastik untuk mencegah bocor ke lingkungan. Dalam rangkaian Hari Peduli Sampah Nasional Tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan webinar yang berjudul “Plastic Credit, Gagasan Baru Solusi Pengurangan Sampah Plastik?”(PERS, 2022). Secara singkat, plastik credit merupakan kredit senilai 1 ton sampah plastik yang lebih dahulu belum terkumpul atau terdaur ulang, kemudian dikumpulkan dan didaur ulang oleh pihak tertentu yang telah terdaftar dalam platform khusus. Sampah plastik yang telah berhasil dikumpulkan dan dicegah bocor ke lingkungan mendapat Waste Collection Credits (WCCs) dan sampah plastik yang berhasil didaur ulang akan mendapat Waste Recycling Credits (WRCs). Sejatinya jika program yang telah dibuat oleh KLHK diterapkan di semua lapisan masyarakat tentunya akan mengurangi limbah plastik yang terbuang ke lingkungan, tetapi pada kenyataanya masih banyak masyarakat yang membuang sampah plastik ke lingkungan salah satunya ke sungai.
Singapura memiliki cara unik mengolah sampah plastik yakni, mengumpulkan dan membakar sampah tanpa menyebabkan polusi. Singapura sendiri menghasilkan 7.23 juta ton limbah padat pada tahun 2019 (Monica, 2020). Langkah awal yang dilakukan yaitu mengumpulkan sampah menjadi satu yang dilakukan oleh petugas, kemudian truk pengumpul sampah akan membawanya ke sebuah gedung khusus untuk mengolah sampah yang dilengkapi dengan cerobong asap seperti di pabrik. Pembakaran dilakukan setiap hari dengan suhu 1.000 ℃ hingga sampah menjadi abu. Mungkin ada berpikiran mengenai hasil pembakaran sampah akan menjadi masalah baru, tetapi masih ada lanjutan dari proses tersebut yaitu asap yang dihasilkan akan disaring kembali menggunakan beberapa metode tingkat lanjut, yang akhirnya asap yang keluar ke lingkungan telah berubah menjadi udara bersih. Sementara itu 10% sisa pembakaran diubah menjadi abu yang nantinya dibuang ke pulau buatan yang terdapat bendungan yang diisi air khusus yang tentunya jauh dari lingkungan. Nah, sepatutnya pemanfaatan teknologi dalam mengolah sampah untuk mengurangi pencemaran yang dilakukan oleh Singapura memberikan contoh bagi negara lain supaya lebih serius menangani persoalan sampah.
تعليقات