top of page
Writer's pictureadmin

IAEA TOLAK TEKANAN ISRAEL TERKAIT NUKLIR IRAN

Oleh: Alda Anindea


Isu proliferasi senjata nuklir merupakan salah satu isu yang sangat menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pengembangan dan persebaran senjata nuklir, serta kemampuannya sebagai alat penghancur massal untuk memusnahkan seluruh kota atau negara, membuat isu tersebut menjadi fokus perhatian dalam agenda keamanan global. Dalam mengawasi perkembangan nuklir, terbentuklah sebuah institusi yang bernama International Atomic Energy Agency (IAEA) yang secara resmi disahkan pada tahun 29 Juli 1957 di bawah naungan PBB. Badan ini bertugas mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan pengayaan uranium untuk sumber energi dan aktif mengawasi kegiatan-kegiatan pemanfaatan energi-energi nuklir. Setelah terbentuknya institusi IAEA, banyak hukum dan perjanjian yang ditetapkan karena efek nuklir itu sendiri, apabila nuklir disalahgunakan dapat menjadi senjata pemusnah massal yang bisa mengancam perdamaian dunia.


Iran merupakan salah satu negara yang melakukan pengembangan program nuklir. Negara ini menjelaskan bahwa pengayaan nuklirnya memiliki tujuan damai yakni sebagai sumber energi alternatif dan kebutuhan di bidang kesehatan. Benjamin Netanyahu, menuduh Iran terus menyembunyikan dan memperluas senjata nuklirnya setelah perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tahun 2015 dengan negara-negara global, yang menunjukkan apa yang diklaim oleh Perdana Menteri Israel tersebut sebagai “bukti baru dan konklusif” terkait adanya pelanggaran. Namun, dokumen-dokumen penting yang disorot oleh Benjamin Netanyahu tersebut sebelumnya telah dilihat oleh pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada awal tahun 2005, dan dipublikasikan oleh badan tersebut pada tahun 2011. IAEA menilai bahwa pekerjaan substansial pada pengembangan senjata nuklir berhenti pada tahun 2003, dan tidak ada bukti penelitian senjata setelah tahun 2009. Sesuai dengan kesepakatan JCPOA, tugas untuk menyelidiki masa lalu nuklir Iran diserahkan kepada IAEA.

Berdasarkan dokumentasi yang ditinjau IAEA, badan ini menilai bahwa kegiatan pengayaan uranium tidak dilakukan melebihi studi kelayakan dan ilmiah, akuisisi kompetensi serta kemampuan teknis tertentu yang relevan. Badan ini juga tidak menemukan indikasi yang kredibel tentang pengalihan material nuklir sehubungan dengan kemungkinan dimensi militer untuk program nuklir Iran. Hal ini dikarenakan JCPOA mendelegasikan tugas untuk mencari pekerjaan senjata Iran di masa lalu kepada IAEA yang menghasilkan “penilaian akhir” dari masalah nuklir yang luar biasa pada akhir tahun 2015, merangkum apa yang diketahui tentang senjata nuklir Iran.


Badan Energi Atom Internasional yang berbasis di Wina ini mengawasi kepatuhan terhadap perjanjian tersebut dan kebijakan kerja pengayaan uranium di Iran. Teheran mengklaim bahwa program nuklirnya yang dikurangi di bawah kesepakatan JCPOA adalah untuk tujuan damai. Berbicara di PBB pada pekan lalu, Netanyahu mengatakan bahwa meskipun telah berbagi informasi arsip nuklir dengan IAEA, badan nuklir ini “masih belum mengambil tindakan apa pun”. Oleh karena itu, ia mengungkapkan kepada publik keterdugaan situs nuklir tersebut. Tuduhan Israel menempatkan IAEA dalam posisi mempertahankan diri. Meskipun klaim tersebut belum diverifikasi, namun pengungkapan Israel mengenai situs nuklir rahasia tersebut telah memicu keraguan tentang ketegasan badan tersebut. IAEA memiliki sumber daya yang terbatas untuk mempertahankan dirinya yang disebabkan oleh alasan kerahasiaan, IAEA dicegah mengumumkan lokasi yang dikunjunginya secara publik.


Para diplomat senior Barat di Wina mengatakan bahwa IAEA masih bekerja untuk meninjau informasi arsip nuklir, yang dikatakan oleh pejabat Israel berjumlah lebih dari 50 ribu halaman dan termasuk materi tentang 183 disk komputer. Sebagian besar dari informasi itu mencakup kerja nuklir Iran di masa lalu, di mana para pejabat Amerika Serikat (AS) dan Israel mengatakan bahwa Teheran terus mengaktifkan kembali program senjata nuklir. Para kritikus, termasuk beberapa mantan pejabat IAEA, mengatakan bahwa badan tersebut tidak cukup agresif dalam mengawasi kesepakatan nuklir dan penyelidikannya pada tahun 2015 terhadap pekerjaan nuklir Iran di masa lalu gagal untuk membuat Teheran bertanggung jawab.


Pernyataan yang dituduhkan oleh Israel tersebut tidak didukung dengan bukti kredibel yang ditemukan di Iran terkait dengan pengembangan perangkat bom nuklir setelah tahun 2009. Hal ini tentu dianggap IAEA sebagai bentuk "kebohongan". Tuduhan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi keputusan Presiden AS, Donald Trump, tentang kesepakatan JCPOA yang ditandatangani pada Juli 2015. Hal ini dikarenakan presentasi Benjamin Netanyahu dilakukan kurang dari dua minggu sebelum Donald Trump memutuskan untuk keluar dari perjanjian JCPOA dan kembali memberikan sanksi terhadap Iran. Sebuah langkah yang amat disayangkan oleh seluruh penandatangan dan dikecam keras oleh Iran, terutama IAEA. Melihat laporan-laporan yang dikeluarkan badan nuklir ini dan tanggapan dalam pembelaan tuduhan terhadap program nuklir Iran, dapat dikatakan bahwa hasil penelitian IAEA bersifat objektif tanpa dipengaruhi oleh kepentingan nasional AS dan sekutunya. Tidak adanya pengaruh dari tekanan Israel maupun keputusan AS terkait program nuklir ini, IAEA kembali menegaskan kepatuhan Iran pada komitmen yang berkaitan dengan nuklir serta akan terus mendukung dan mengawasi proses pengayaan uranium serta mengabsahkan tidak-dialihkannya bahan nuklir yang diumumkan oleh Iran berdasarkan Kesepakatan Perlindungan Non Proliferation Treaty (NPT).

52 views0 comments

Comments


bottom of page