Oleh M. Irvan
ACFTA merupakan singkatan dari ASEAN - China Free Trade Area, ACFTA ini merupakan perjanjian kerjasama antar negara-negara ASEAN dan China untuk membuat sebuah pasar bebas diantara kedua kawasan yakni ASEAN dan China yang mana didalam pasar tersebut kedua pihak bersepakat untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan (barrier). Perjanjian untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan ini bertujuan untuk mepermudah akses masuk ataupun keluar barang atau jasa yang diperdagangkan. Hal tersebut akan membuat kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China meningkat, karena pada dasarnya perdagangan internasional dilakukan untuk saling memenuhi kebutuhan negara-negara yang berdagang. Jika penghambat perdagangan itu dihilangkan, maka tentu kebutuhan masing-masing negara akan mudah untuk didapatkan dan tidak memerlukan modal dan waktu yang lebih lama.
Sudah 15 tahun sejak ACFTA ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, namun banyak yang skeptic terhadap perjanjian dagang ini, menurut banyak orang Indonesia hanya mendapatkan rugi jika bergabung dengan perjanjian ini. ACFTA sendiri pertama kali disepakati oleh negara-negara ASEAN dan China pada perjanjian ASEAN-China Comprehensive Economic Partnership pada tanggal 6 November 2001 di Bandar Sri Bengawan, Brunei Darussalam. Framework kerjasama ACFTA sendiri beberapa kali berubah melalui beberapa pertemuan tingkat tinggi dan KTT ASEAN hingga pada akhirnya 15 Juni 2004, Indonesia meratifikasi perjanjian ini melalui keputusan presiden No. 48 tahun 2004. Sehingga sejak saat itu Indonesia telah resmi bergabung dalam medan perang ACFTA. (kemendag.go.id)
Pendapat banyak kalangan, bahwa Indonesia selalu merugi dalam keanggotaannya di perjanjian ACFTA bukan juga tidak beralasan. Menurut data dari IGJ (International Global Justice) sekitar tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 setidaknya ada 1.650 industri yang akhirnya gulung tikar karena tidak bisa bersaing dengan industri dari negara-negara ACFTA terutama China. Akibatnya 140.584 orang akhirnya kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut. Untuk diketahui jumlah impor Indonesia dari China pada kala itu adalah 20.32% dari jumlah total impor Indonesia. (IGJ)
Selain itu, pada 2010 ternyata dampak dari ACFTA ini dinilai tidak terlalu signifikan dalam menggenjot perekonomian Indonesia, Indonesia tetap mendapatkan deficit sekitar $5.1 Milliar. Hal ini yang kemudian membuat benyak orang menilai tidak ada gunanya Indonesia bergabung dengan perjanjian ACFTA. Banyak UMKM Indonesia akhirnya mati karena belum siap bersaing dalam pasar bebas ini. Ketidaksiapan Indonesia dinilai dari infrastruktur yang tidak memadai, SDM yang kurang terampil, serta diperparah dengan birokrasi yang rumit. (Kompasiana.com)
Walaupun tidak mengenyampingkan kerugian-kerugian yang didapat oleh Indonesia selama terikat dalam perjanjian ACFTA ini, tetap ada banyak hal positif yang akan didapat oleh Indonesia jika dapat memaksimalkan peluang-peluang yang ada. Jika dilihat memang perjanjian ini lebih menguntungkan China karena bisa menggenjot jumlah ekspornya ke Indonesia, namun kita juga harus melihat mengapa China bisa melakukan itu. China mempelajari bagaimana market di Indonesia dan menyesuaikan kualitasnya sehingga barang yang dikirim efisien dan juga murah dan dapat bersaing dengan produk lainnya, hal tersebut dilakukan China dengan cara membeli lisensi SNI sekitar 30% sehingga mereka mengerti betul bagaimana standar produk yang bisa dipasarkan di Indonesia. Hal ini seharusnya bisa kita tiru, Indonesia harus bisa mempelajari bagaimana pasar luar negeri, dan apakah produk kita bisa diekspor ke sana dan akan bisa bersaing dengan produk lain yang sejenis. Dari kasus China ini sebenarnya kita tidak harus menunggu siap untuk terjun ke pasar bebas ACFTA, karena dengan terjun langsung ke dalam ACFTA kita bisa belajar sambil melakukan atau bisa disebut learning by doing.
Dampak dari ACFTA ini bukan tidak terasa oleh Indonesia, berdasarkan statistik nilai ekspor Indonesia setiap tahunnya juga meningkat. Dari data tahun 2006-2011 peningkatan nilai Ekspor ini naik sekitar 66% daripada periode 2006-2008. Seperti yang ditegaskan di atas, kerjasama ini tetap akan membawa hasil positif bagi Indonesia walaupun secara persentase memang China mendapat keuntungan lebih besar, namun yang ingin ditegaskan di sini adalah bagaimana kita bisa belajar sambal terjun di pasar bebas ASEAN – China ini. (Kompasiana.com)
Pemerintah Indonesia perlu lebih cermat lagi dalam memanfaatkan peluang-peluang yang bisa didapat dalam kerjasama ini, serta bisa belajar dari instrument-instrumen kebijakan yang membuat China bisa mengambil untung dari kerjasama ini. Selain itu, untuk mengatasi kurangnya daya saing dari produk kita, pemerintah harus terus memperbaiki faktor-faktor yang mengakibatkan mengapa daya saing kita rendah. Seperti yang kita ketahui faktor-faktor tersebut antaralain infrastruktur yang belum memadai, SDM yang kurang terampil, serta alur birokrasi administrasi yang rumit. Jika ingin memaksimalkan keuntungan dalam kerjasama ACFTA ini, pemerintah harus dapat memperbaiki kelemahan-kelamahan tersebut.
Namun, tidak perlu menunggu semua kelemahan itu dapat kita tutupi, jika menunggu terlalu lama maka kita akan semakin tertinggal jauh. Yang terpenting adalah bagaimana kita merespon kelemahan-kelemahan dalam negeri dan memperbaikinya. Dengan bergabung dengan ACFTA ini setidaknya sekarang kita mendapat satu ilmu tambahan yakni mengenal pasar ekspor, sebagaimana China yang membeli lisensi SNI tadi untuk mengetahui barang seperti apa yang seharusnya dikirim ke Indonesia dan dapat bersaing. Catatan juga untuk pelaku industri Indonesia adalah juga terus memperbaiki produknya, walaupun pemerintah telah berupaya memperbaiki kekurangan infrastruktur, namun tetap pelaku industri dalam negeri juga merupakan pemain utama dalam pasar bebas ini, pelaku industri juga harus terus mengamati pasar, tidak hanya pasar namun juga situasi politik yang mungkin akan berpengaruh terhadap keberlangsungan bisninya.
Comments