top of page
Writer's pictureadmin

KETIDAKJELASAN HASIL BREXIT : TEKANAN DUA SISI BAGI PERDANA MENTERI INGGRIS

Oleh : Muwalliha Syahdani

 

Theresa May and Donald Tusk

Brexit atau British Exit adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Keputusan Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa tahun 2016 mengejutkan banyak pihak. Proses ini dimulai dengan referendum yang dilakukan oleh rakyat Kerajaan Inggris dan menghasilkan suara mayoritas 52% memilih Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa. (BBC.com)


Berbagai faktor melatarbelakangi keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Meningkatnya trend konservatisme anti-imigran menjadi salah satu faktor tersebut. Imigran pencari kerja, misalnya, datang ke Inggris mencari pekerjaan tidak didukung dengan kompetensi yang bagus dan kemampuan bahasa Inggris yang baik, sehingga mereka hanya menjadi pekerja rendahan. Selain itu, bergabungnya negara-negara Eropa Timur ke dalam Uni Eropa, seperti Rumania, meningkatkan angka kejahatan. Lebih dari 92 persen kejahatan di mesin ATM yang dilakukan oleh imigran-imigran asal Rumania. (Independent.co.uk). Hal ini membuat Inggris menginginkan kedaulatan penuh untuk mengatur imigrasi dan perbatasan, yang selama ini pengaturannya di dominasi oleh Uni Eropa. Sehingga pilihan untuk keluar dari Uni Eropa menjadi sangat masuk akal.


Kata sepakat tentu sangat mahal untuk dicapai. Masing-masing pihak merasa kepentingannya harus di dahulukan, termasuk pencapaian kata sepakat dalam proses British exit. Sejak awal dimulainya Brexit, David Cameron yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri, memutuskan untuk mundur dari kursi jabatannya. Cameron menepati janjinya untuk mundur karena posisinya mendukung keanggotaan Inggris di Uni Eropa. Selanjutnya ia digantikan oleh Theresa May dari Partai Konservatif.


Theresa May beberapa kali mengajukan penawaran kesepakatan untuk mengatur hubungan setelah Inggris keluar dari Uni Eropa. Tawaran tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga: Hard Brexit, No Deal, dan Soft Brexit. Hard Brexit adalah dimana Inggris keluar dari Uni Eropa dengan rentetan perjanjian untuk mengatur kembali hubungan mereka, No Deal dapat diartikan dengan keluarnya Inggris tanpa perjanjian, dan Soft Brexit adalah kesepatan Inggris keluar dari Uni Eropa dengan Inggris masih menjadi bagian dari pasar tunggal Eropa, termasuk kebebasan perpindahan tenaga kerja atau imigran.


Tidak ada satu pun tawaran May yang disetujui oleh parlemen Inggris. Bahkan penawaran May bulan Januari 2019, ditolak oleh 230 suara anggota parlemen menjadi angka penolakan yang paling tinggi dalam sejarah demokrasi Inggris modern. Tekanan menyusun kesepakatan Brexit dihadapi May tidak hanya dari politik domestik lewat parlemen Inggris tetapi tekanan dirasakan juga dari luar, terutama dari negara-negara besar Uni Eropa seperti Perancis.


Perancis lewat presiden Emmanuel Macron beberapa kali menentang perpanjangan waktu Inggris keluar dari Uni Eropa. Menurut Macron, keluarnya Inggris dari Uni Eropa baik dengan kesepakatan atau tidak, sebagai proses yang harus dilakukan secepatnya dan menganggap perpanjangan waktu sebagai hal yang tidak perlu. Bahkan Macron pernah membawa Perancis berada di posisi opisisi seorang diri ketika 27 negara Eropa lainnya setuju untuk memperpanjang kesepakatan Brexit pada saat pertemuan antar negara-negara Eropa di Brussels. (Theguardian.com)


May turun dari jabatannya karena tidak mampu membawa “Withdrawal Agreement” setebal 585 halaman untuk disepakati. Hal ini terjadi karena pertentangan antara partai Buruh yang menduduki mayoritas parlemen Inggris dan partai Konservatif yang mendukung kebijakan May sebagai pemimpin partai. Presiden Komisi Uni Eropa, Jean-Claude Juncker, pernah memperingati Inggris bahwa kesabaran Uni Eropa sudah habis dan mendesak parlemen Inggris segera mencapai kesepakatan terkait Brexit. (Reuters.com)


Hingga akhirnya May digantikan oleh Boris Jhonson. May turun dari posisinya sebagai perdana menteri tanggal 7 Juni 2019 dan Boris Jhonson naik menggantikan posisi May tanggal 23 Juli 2019. Jhonson sebagai perdana menteri meyakini Inggris harus keluar dari Uni Eropa tanggal 31 Oktober besok, dengan atau tanpa kesepakatan. Penawan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan ditolak oleh mayoritas parlemen Inggris juga dari Presiden Dewan Uni Eropa, Donald Tusk. Jhonson mengajukan diadakannya pemilu untuk menggalang suara mayoritas pendukung kebijakannya namun ditolak karena pengajuan penawaran seperti itu membutuhkan 2/3 suara anggota parlemen yang diduduki mayoritas partai Buruh.


Keputusan kontroversial dibuat Jhonson dengan menonaktifkan parlemen Inggris. Usulan ini disetujui Ratu Inggris yang mulai efektif tanggal 12 September hingga 14 Oktober 2019. Jhonson yang menganggap Inggris harus keluar dari Uni Eropa dengan atau tanpa kesepakatan ditentang kuat oleh politikus dan pebisnis dari Inggris dan Uni Eropa karena tidak ada yang tahu bagaimana hubungan kedua entitas setelah Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan. Beberapa ahli memprediksi jika Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan akan membuat Inggris jatuh ke dalam jurang ketidakpastian. (Theconversation.com)



Referensi:


bbc, "Brexit: Donald Tusk and Boris Jhonson clash over who is 'Mr No Deal' ", https://www.bbc.com/news/uk-politics-49458293


Government of Netherlands, "Brexit: where do we stand", https://www.government.nl/topics/brexit/brexit-where-do-we-stand


bbc, "David Cameron promises in/out referendum on EU", https://www.bbc.com/news/uk-politics-21148282



20 views0 comments

Comments


bottom of page