Membangun identitas ASEAN merupakan salah satu elemen inti dari ASEAN Sosio-Cultural Community blueprint 2016-2025, yang antara lain berusaha untuk mempromosikan kesadaran akan pentingnya membangun rasa persaudaraan sebagai satu identitas dan komunitas di Kawasan Asia Tenggara.[i] Dalam proses pembangunannya sebagai satu identitas, ASEAN seringkali dihadapkan oleh tantangan sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat ASEAN. Salah satunya adalah kenyataan bahwa masih banyaknya fenomena rasisme, diskriminasi dan xenophobia di Kawasan Asia Tenggara yang disebabkan oleh perbedaan kultur, keyakinan dan berkembangnya stigma negatif di masyarakat. Melalui tulisan ini, penulis ingin menarik perhatian pembaca untuk dapat membalik premis yang ada dengan keyakinan bahwa menjadi satu identitas di bawah payung ASEAN merupakan solusi penting untuk memerangi rasisme, diskriminasi dan xenophobia yang juga diharapkan dapat mengoptimalisasikan pergerakan demokrasi di negara-negara Asia Tenggara.
Menurut UNESCO, rasisme dapat diartikan sebagai pemahaman ras hierarki yang berpendapat bahwa ras unggul harus dilestarikan dan harus mendominasi yang lain. Rasisme juga bisa menjadi sikap yang tidak adil terhadap kelompok etnis lain yang dalam hal ini rasisme juga dapat didefinisikan sebagai permusuhan kekerasan terhadap kelompok sosial.[ii] Disisi lain, diskriminasi adalah “Perbedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal kebangsaan atau etnis yang memiliki tujuan atau efek dari meniadakan atau merusak pengakuan, kesenangan atau latihan, pada pijakan yang sama, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan public lainnya.[iii] Pada kenyataannya, fenomena rasisme dan diskriminasi sering tumpang tinding dengan xenophobia. Xenophobia dapat didefinisikan sebagai “sikap, prasangka dan perilaku yang menolak, mengecualikan dan sering menjelekkan orang berdasarkan pada persepsi bahwa mereka adalah orang luar atau orang asing bagi masyarakat atau identitas nasional.[iv]
Fenomena rasisme, diskriminasi dan xenophobia muncul beriringan dengan gelombang demokrasi dan internasionalisasi di dunia. Fenomena tersebut saat ini marak dibahas dalam forum-forum pertemuan negara karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan menghambat pekembangan demokrasi, dengan beberapa diantaranya mengangkat kasus yang terjadi di Asia Tenggara seperti Myamnar. Dalam hal ini, terdapat dua hal yang menyebabkan fenomena rasisme, diskriminasi dan xenophobia semakin berkembang. Pertama, pola migrasi baru yang berkembang sebagai efek dari internasionalisasi. Migrasi internasional selain membawa manfaat juga menyebabkan perubahan pada konstruksi sosial di tingkat nasional. Di negara-negara penerima, kelompok sosial dalam posisi yang tidak menyenangkan menganggap para perndatang baru sebagai pesaing untuk pekerjaan dan layanan publik.[v] Hal tesebut memupuk iklim sosial dan politik yang menghasilkan banyak masyarakat domesik “alergi” terhadap kedatangan masyarakat di luar daerahnya.
Kedua, adalah globalisasi yang berdampak pada meningkatnya persaingan antar negara telah menyebabkan negara mengurangi layanannya di bidang kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan. Pengurangan ini mempengaruhi khususnya segmen populasi yang hidup di pinggiran masyarakat. Kelompok-kelompok ini sering bersaing langsung dengan para migran untuk layanan kesejahteraan dan merupakan tempat berkembang biak utama bagi fenomena rasisme, diskriminasi dan xenophobia. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketidaksetaraan ekonomi yang parah dan marjinalisasi orang dari akses ke kondisi ekonomi dan sosial dasar menimbulkan ketegangan dan memunculkan manifestasi rasisme dan xenophobia.[vi] Globalisasi juga berdampak bagi perkembangan keyakinan, norma, bahkan ideology yang datang dari pemahaman bangsa lain dan dianggap tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat domestik. Kelompok atau individu yang menganut pemahaman baru tersebut akan didiskriminasi karena tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat domestik.
Dalam lingkup ASEAN, penghormatan atas hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan demokrasi. Oleh karena itu, hak atas perlindungan manusia pada dasarnya merupakan hal yang vital dalam demokrasi terkait dengan HAM.[vii] Kasus kekerasan yang berawal dari diskriminasi, rasisme dan xenophobia di Kawasan Asia Tenggara seperti peristiwa Rakhine di Myanmar sudah seharusnya dicegah untuk dapat menegakkan keadilan HAM dan demokrasi di Asia Tenggara. Promosi dan edukasi mengenai identitas masyarakat sebagai masyarakat ASEAN diharapkan dapat menjadi awal bagi persatuan yang akan memfokuskan masyarakat terhadap persamaan diantara negara-negara ASEAN daripada perbedaannya. Menurut Thomas Piketty, Mengapa demokrasi tidak dapat mengurangi kesenjangan? Dalam hal yang lebih luas, karena multi-dimensional politik yang sangat kompleks namun, masih memungkinkan untuk mengabungkan kelompok yang berbeda ke dalam platform yang sama.[viii] Oleh karena itu, sudah seharusnya ASEAN dapat menjadi penggerak demokrasi dan HAM di kawasan Asia Tenggara.
iAssociation of Southeast Asian Nations (2016), ASEAN Strategic Plan for Information and Media 2016 – 2025, diakses melalui http://asean.org/storage/2016/09/14.-May-2016-ASEAN-Strategic-Plan-for-Information-and-Media-2016-20251.pdf
iiUnited Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations, Racism, diakses melalui http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/international-migration/glossary/racism/
[iii] United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations, Discrimination, diakses melalui http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/international-migration/glossary/discrimination/
[iv] United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations, Xenophobia, diakses melalui http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-sciences/themes/international-migration/glossary/xenophobia/
[v] Ibid.
[vi] NGO Working Group on Migration and Xenophobia for the World Conference (in International Migration, Racism, Discrimination and Xenophobia, 2001. A publication jointly produced by ILO, IOM, OHCHR, in consultation with UNHCR.
[vii] Lidya Christin Sinaga (2013), Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Demokrasi dan HAM di ASEAN : Studi Kasus Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No. 1, hal 130
[viii] Thomas Piketty dalam JFK. Jr Forum di Harvard University pada 30 Maret 2018 dengan tema “Rising Inequality and the Changing Structure of Political Conflict” , dapat diakses melalui http://iop.harvard.edu/forum/thomas-piketty
-Penulis
Dwi Fadilah Aryani
UPN Veteran Yogyakarta
Peringkat 3 Essay Competition
Comments