top of page
Writer's pictureadmin

PENINJAUAN ULANG RELEVANSI PRINSIP NON-INTERVENSI ASEAN DEMI MENJAGA STABILITAS KAWASAN ASIA TENGGAR

Oleh : Ammar Habib


Prinsip non-intervensi merupakan “suatu kebijakan tidak adanya campur tangan oleh sebuah negara atau beberapa negara dalam urusan luar negeri atau urusan dalam negeri negara lain tanpa izin ” (Henry G.Modges,1915). Kebijakan ini didasarkan pada frasa kemerdekaan strategis dan prinsip kedaulatan negara, sehingga sebuah negara mempunyai kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Prinsip yang demikian juga merupakan peaceful coexistence yang tercantum dalam piagam PBB yang mana kemudian diadopsi oleh para pendiri ASEAN dengan penyesuaian tertentu terhadap norma-norma regional. (Erika,2014)



Prinsip non-intervensi selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog dan konsultasi. Pada tingkat yang paling dasar, prinsip ini merupakan wujud nyata penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggota. Hal ini amat penting, mengingat sejarah menjelang pembentukan ASEAN yang diwarnai sejumlah konflik antar negara bakal calon anggota pada waktu itu. Jaminan pengakuan kedaulatan ini menjadi salah satu cara untuk meredam sikap saling curiga sesama negara anggota ASEAN, dikarenakan rasa percaya yang timbal balik menjadi prasyarat eksisnya suatu organisasi regional beranggotakan negara dengan perbedaan kepentingan yang tak terelakkan. (Romadhona,2016)


Namun, seiring perkembangan konstelasi politik global, nampaknya prinsip ini mulai harus ditinggalkan oleh ASEAN karena tidak hanya problem traditional security saja yang penting, tetapi masalah-masalah non-traditional security dengan sipil sebagai pemeran utamanya, juga menjadi isu yang penting untuk dihadapi. Di antara konflik yang saat ini terjadi di ASEAN adalah kondisi krisis negara Myanmar dengan rohingya dan kudeta berdarahnya seperti yang berlangsung hingga kini. Krisis ini menjadi ujian terbesar bagi ASEAN yang tentunya mempertaruhkan legitimasi ASEAN dalam mewujudkan one vision, one identity, and one community. Hal ini dikarenakan masalah yang timbul di Myanmar secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak bagi regional kawasan tersebut mulai dari masalah kemanusiaan, impact dari melubernya pengungsi yang mana menyebabkan instabilitas dan gangguan keamanan, masalah demokrasi, terpukulnya ekonomi dan makin melemahkan posisi ASEAN di mata masyarakat internasional. (Herjuno, Muhammad. 2010)


Ujian tak kalah besar juga datang dari konflik sengketa laut cina selatan (LCS) yang semakin memanas, tidak adanya peraturan yang mengikat di ASEAN membuat negara-negara anggota yang terlibat tidak mendapatkan dukungan yang optimal dari sesama anggota atau dengan kata lain para anggota ASEAN tersebut tidak mempunyai rasa solidaritas untuk mengikat integritas mereka dalam menghadapi tiongkok. Anggota ASEAN sendiri memiliki kepentingan pribadi yang berbeda-beda dalam menanggapi masalah LCS ini, seperti Indonesia yang terlihat gigih secara konsisten melawan hegemoni tiongkok, Thailand, dan Myanmar yang cenderung bersikap no comment atau netral dan ada juga negara anggota lainnya seperti Laos dan kamboja yang malah mengikrarkan dirinya menjadi mitra tiongkok di kawasan ASEAN.

Sebenarnya ASEAN pun telah menanggapi peristiwa dengan membentuk suatu forum atau badan yang mempunyai legalitas dalam mengurusi permasalahan keamanan internal kawasan, yaitu AICHR (badan HAM ASEAN) dan forum ASC (Dewan Keamanan ASEAN). Namun, secara fungsional badan tersebut kurang efektif dan belum pernah terbukti menyelesaikan sengketa yang ada. Hal itu disebabkan oleh prinsip non-intervensi yang masih menjadi hambatan utama tidak efektifnya kinerja badan tersebut. Selain itu, faktor dualisme dan standar ganda yang masih terus dipertahankan oleh masing-masing anggota ASEAN juga turut memperparah keadaan.


Hal-hal yang demikian merupakan sedikit dari banyak nya problematika yang timbul akibat dari penerapan non-intervensi di ASEAN. Jargon yang selama ini dicita-citakan diprediksi tidak akan pernah tercapai apabila prinsip non-intervensi ASEAN tidak direvisi dan tidak diubah mekanisme kerjanya. Setidaknya kalau ingin mengintegrasikan diri menjadi sesuatu yang lebih besar berarti harus memindahkan kesetiaan yang ada, atau paling tidak mengurangi kedaulatan negara dan memindahkannya ke cakupan yang lebih luas, dalam konteks ini berarti negara-negara anggota ASEAN memindahkan atau mengurangi sedikit kedaulatannya untuk membangun suatu integrasi ASEAN yang lebih bersatu, sehingga One Vision, One Identity, One Community dapat terwujud. (Hiro Katsumata, 2004:237)


Banyak kalangan menyatakan bahwa prinsip non-intervensi membawa angin segar bagi perkembangan ASEAN sampai sejauh ini dengan melihat jejak historis terbentuknya ASEAN. Prinsip non-intervensi sangat memiliki peran yang sangat luar biasa dalam menjaga keutuhan di masing-masing negara anggota. Akan tetapi dampak yang kurang baik juga pasti mengikuti, hal ini dikarenakan prinsip ini memiliki dampak yang membuat kesepuluh negara anggota ASEAN tidak akan tumbuh menjadi anggota yang dewasa, baik dari segi finance maupun security issue. Jika masih berlindung dalam kedok dan tameng prinsip non-intervensi ini, dapat diprediksi bahwa setiap permasalahan yang terdapat di dalam anggota ASEAN justru akan lebih sering diselesaikan secara “kotor” dengan tidak mengindahkan hukum internasional, yang mana hal ini pun dapat memunculkan problematika baru dalam memperumit permasalahan dan membuat masalah semakin berlarut sehingga stabilitas kawasan menjadi terganggu. Tentunya hal ini sangat menghambat kemajuan dan target bersama yang akan dituju oleh ASEAN itu sendiri.

125 views0 comments

Comments


bottom of page