Oleh: Nuur-Yaasmin Indhriyani Hilmi
Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis yang baik bagi negara-negara yang berada di sekitar letak geografisnya. Laut Cina Selatan merupakan jalur perdagangan dunia yang paling sibuk dan memiliki sumber daya minyak yang besar. Konflik di Laut Cina Selatan merupakan konflik yang sudah berlangsung sangat lama. Kawasan ini merupakan kawasan laut setengah tertutup atau semi-enclosed sea yang merupakan suatu teluk, basin, atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih dan menghubungkan laut dan samudera satu sama lain melalui saluran sempit atau terdiri dari keseluruhannya atau terutama laut territorial dan zona ekonomi eksklusif dari dua atau lebih negara pantai (United Nations Convention of The Law of The Sea 1982, Article 122).
Kawasan Laut Cina Selatan ini diapit oleh Cina, Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Indonesia dan Singapura. Kondisi ini menyebabkan terjadinya pengklaiman atas wilayah perairan ini dari segi wilayah perairannya maupun kepulauan yang ada di Laut Cina Selatan itu sendiri. Salah satu konflik persengkatan wilayah di kawasan ini adalah persengketaan mengenai kepemilikan pulau Spartly dan Paracel yang diklaim oleh Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam (Central Intelligence Agency https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/pg.html).
Klaim terhadap pulau ini terjadi dikarenakan kepentingan nasional dari masing-masing negara. Kedua pulau ini menjadi tempat yang strategis di Laut Cina Selatan karena diapit oleh banyak negara dan menjadi wilayah perdagangan. Selain itu, sumber daya yang ada di kedua pulau ini juga dapat menjadi salah satu alasan adanya klaim-klaim dari negara-negara disekitarnya. Menurut data yang dikutip oleh Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), Cina memperkirakan cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel atau 10 kali lipat dari cadangan milik Amerika Serikat. Namun para ilmuwan AS memperkirakan jumlah minyak di sana 28 miliar barel. Menurut EIA, cadangan terbesar kemungkinan adalah gas alam. Perkiraannya sekitar 900 triliun kaki kubik, sama dengan cadangan yang dimiliki Qatar (BBC News Indonesia, “Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan” https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict).
Konflik ini berawal dari klaim Cina yang menyatakan bahwa sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing menegaskan, yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan Spratly adalah Cina, didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han (206-220 SM). Namun Vietnam membantahnya, dan menganggap Kepulauan Spratly dan Paracel adalah bagian dari wilayah Kedaulatannya. Vietnam menyebutkan Kepulauan Spratly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke 17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan sesuatu negara. Selain itu, Kepulauan Spratly juga diduduki oleh Taiwan (sejak Perang Dunia II) dan Filipina (tahun 1971). Sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian timur Kepulauan Spratly yang disebut sebagai Kalayaan. Menurut Malaysia, langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spratly (History Indonesia. “Peranan ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan, https://www.history.id/politik/peranan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/). Dari semua negara yang memberi klaim atas dua pulau tersebut, hanya Brunei Darussalam lah yang tidak menaruh kekuatan militernya di kedua pulau tersebut.
ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara berusaha untuk mencegah terjadinya konflik antar negara anggotanya terkait kasus Laut Cina Selatan ini. Salah satu cara ASEAN untuk dapat mencegah konflik berkelanjutan ini adalah dengan membentuk ASEAN Regional Forum (ARF). ARF merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building, Preventive Diplomacy dan Conflict Resolution. Keputusan ARF harus diambil melalui suatu konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar para peserta ARF (Kementrian Luar Negeri Indonesia. Forum Regional ASEAN (ARF). https://kemlu.go.id/portal/i/read/126/halaman_list_lainnya/forum-regional-asean-arf).
Produk dari ARF sendiri salah satunya adalah The Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea yang diratifikasi pada tahun 2002. Dalam deklarasi antara ASEAN dan Cina ini disepakati bahwa sengketa territorial di Laut Cina Selatan tidak akan menjadi isu internasional atau isu multilateral. ASEAN sudah mengupayakan berbagai cara untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi di Laut Cina Selatan ini melalui upaya-upaya perundingan untuk memecahkan permasalahan secara multilateral untuk terciptanya stabilitas di kawasan banyak mendapat dukungan negara-negara pengklaim yang semuanya adalah negara negara anggota ASEAN, kecuali Cina dan Taiwan. Hal ini beralasan mengingat melalui perundingan regional atau multilateral, setidaknya dapat membantu semua negara pengklaim di kawasan itu untuk memilih peluang dan posisi yang sama dalam mempertahankan klaim dan pendudukannya terutama dalam menghadapi tuntutan Cina. Sebaliknya Cina lebih memilih perundingan secara bilateral dengan masing-masing negara sengketa, karena dengan cara ini Cina dapat lebih mudah menekan setiap negara daripada menghadapinya (History Indonesia. “Peranan ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan, https://www.history.id/politik/peranan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/).
ASEAN sebagai organisasi regional berkepentingan menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara, khususnya dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan. Melihat situasi yang semakin rumit, maka ASEAN mulai bertindak dan ikut turun tangan menanggapi persoalan klaim teritorial yang terjadi di wilayah Laut China Selatan. Karena jika konflik ini tidak ditanggapi dengan serius dan dibiarkan begitu saja maka segala bentuk kerjasama di kawasan Laut China Selatan bisa kehilangan daya dukung dan tidak berkelanjutan selain itu juga dapat megancam keamanan negara-negara ASEAN, peranan yang sudah dilakukan oleh ASEAN untuk mengatasi konflik di kepulauan Spratly dan Paracel yaitu dengan cara menyerukan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menahan diri dan menghentikan penggunaan kekuatan militer serta memperkuat transparansi kerjasama politik dan keamanan antara negara-negara Asia Pasifik, khusus antara negara-negara ASEAN yang terlibat dalam konflik (Jasuli, Akis. 2013. Peran ASEAN dalam Penanganan Konflik Laut Cina Selatan. Jurnal Skripsi. Repository UMM).
Daftar Pustaka
United Nations Convention of The Law of The Sea 1982, Article 122
Central Intelligence Agency. “The World Fact Book”, diakses melalui https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/pg.html pada tanggal 27 Oktober 2019
BBC News Indonesia, “Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan”, diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict pada tanggal 27 Oktober 2019
History Indonesia. “Peranan ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan, diakses melalui https://www.history.id/politik/peranan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/ pada tanggal 27 Oktober 2019
Jasuli, Akis. 2013. “Peran ASEAN dalam Penanganan Konflik Laut Cina Selatan”. Jurnal Skripsi. Repository UMM, diakses melalui http://eprints.umm.ac.id/27841/1/jiptummpp-gdl-akisjasuli-32449-2-babi.pdf pada tanggal 28 Oktober 2019
Kementrian Luar Negeri Indonesia. “Forum Regional ASEAN (ARF)”, diakses melalui https://kemlu.go.id/portal/i/read/126/halaman_list_lainnya/forum-regional-asean-arf pada tanggal 28 Oktober 2019
Comments