top of page
Writer's pictureadmin

PERAN UEFA TERHADAP FENOMENA RASISME DALAM PERSEPAKBOLAAN EROPA

Oleh Fransiscus Nauli Togatorop


Fenomena rasisme bisa dikatakan merupakan suatu fenomena sosial yang tak berkesudahan. Rasisme sendiri merupakan suatu pemahaman yang mendasarkan ciri-ciri fisik sebagai alasan untuk melakukan prasangka buruk, diskriminasi, ataupun tindakan buruk lainnya pada ras atau etnis tertentu di berbagai tatanan masyarakat. Fenomena rasisme sejatinya mengotori suatu tatanan harmoni dalam masyarakat dan di berbagai tatanan kehidupan lainnya, tak terkecuali sepakbola. Banyak orang yang mengatakan bahwa sepakbola merupakan salah satu dari sekian olahraga yang indah. Maka dari itu Union of European Football Associations (UEFA) memiliki cita-cita untuk menghilangkan rasisme tersebut dalam persepakbolaan di benua Eropa.


Sepakbola yang merupakan salah satu olahraga terfavorit di dunia, memiliki beberapa hal yang membuat olahraga ini indah dan digemari di berbagai belahan dunia. Hal-hal tersebut tersebut tercipta baik dari dalam maupun luar lapangan. Dari dalam lapangan misalnya, kita bisa melihat kemampuan yang ditunjukkan dari para pemain baik itu; operan, umpan, teknik, ataupun tendangannya, kita juga dapat tersentuh melalui semangat yang ditunjukkan para pemain serta tindakan sportivitas antar pemain. Dari luar lapangan, kita dapat melihat gairah dan semangat para pendukung tim sepakbola, tindakan para pemain terhadap para pendukungnya di lapangan, dan hal lainnya yang terkadang membuat sepakbola bukan sekadar olahraga biasa. Kita dapat merasakan kemanusiaan, harmoni persaudaraan, dan gairah hidup yang dapat dikeluarkan oleh manusia didalamnya.


Dalam upaya menghilangkan rasisme dalam persepakbolaan Eropa, UEFA selaku badan yang mengatur hal tersebut memiliki sejumlah langkah untuk mencapai cita-cita itu. Pada tahun 2013, UEFA meluncurkan kampanye “No to Racism” dimana kampanye tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan intoleransi dan diskriminasi yang ada di sepakbola serta menjadi wadah untuk perkembangan ide dan strategi mengenai cara melawan rasisme (UEFA.com). UEFA juga menjalin kerjasama dengan lembaga Football Against Racism in Europe (FARE) yang merupakan sebuah payung organisasi bagi individu-individu, kelompok informal, dan Non-Governmental Organization (NGO) untuk melawan ketidakadilan dalam sepakbola serta menggunakan sepakbola sebagai instrumen perubahan sosial (farenet.org). Selain itu, pada bulan Mei 2013 lalu diadakan Kongres UEFA ke-37 di London, dimana dalam Kongres tersebut disepakati sebuah resolusi sebagai bagian dari keseriusan UEFA “zero-tolerance” terhadap rasisme. Dalam resolusi tersebut disepakati beberapa hal yang merupakan sanksi lebih tegas. Dalam resolusi tersebut, sebagai bentuk ketegasan melawan rasisme, wasit dapat memberhentikan sementara pertandingan, mensuspensi pertandingan, ataupun memberhentikan secara total pertandingan apabila terjadi kejadian rasis. Apabila tindakan rasis dilakukan oleh pemain ataupun para official yang terbukti melakukannya, maka mereka diberikan sanksi suspensi hingga 10 pertandingan. Kepada para suporter yang terbukti melakukan tindakan rasis maka sanksi yang diberikan adalah pengosongan setengah stadium, apabila tindakan rasis masih terjadi maka sanksi selanjutnya adalah pengosongan satu stadium beserta dengan denda uang, dan bagi para suporter yang terlibat dalam tindakan rasis akan dilarang untuk menghadiri pertandingan di stadium oleh pihak berwenang. Poin terakhir yang perlu disampaikan penulis adalah, pihak manajemen klub dan tim nasional wajib melakukan program edukasi untuk menangkal rasisme, serta para pemain dan para pelatih menjadi para pemimpin dalam melawan rasisme ini (UEFA.org).


Fenomena rasisme dalam sepakbola ini sungguh disayangkan. Hal ini menjadi fenomena yang disayangkan karena masih terjadi hingga hari ini di tahun 2019 ini. Seperti yang terjadi kemarin, pemain Brescia FC Mario Balotelli, terkena tindakan rasis oleh para suporter tim lawan kala Brescia FC melawan Hellas Verona FC minggu (3/11/2019) dalam lanjutan laga pada Serie A (Goal.com). Para suporter sepakbola masih dengan mudahnya menyerang mental pemain tertentu melalui kata-kata ataupun tindakan rasisnya. Tujuannya mudah ditebak arahnya, agar mental pemain lawan yang terkena tindakan rasis tersebut turun dan harapan dari para suporter rasis tersebut adalah pemain lawan tersebut akan bermain buruk karena mentalnya sudah jatuh. Sungguh amat disayangkan, kita bisa melihat sisi kemanusiaan yang satu di sepakbola, namun juga kita bisa melihat “sisi kemanusiaan” yang lain pada sepakbola. Penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan kutipan dari pemain bola yang masih sering menjadi sasaran tindakan rasis hingga hari ini, “You can't delete racism. It's like a cigarette. You can't stop smoking if you don't want to, and you can't stop racism if people don't want to. But I'll do everything I can to help.” – Mario Balotelli pemain Brescia FC.

313 views0 comments

Comments


bottom of page