Oleh : Nurul Mardiyati
Isu kesetaraan gender merupakan isu global yang masih menarik perhatian dunia Internasional, dimana masih sering terjadi fenomena ketidaksetaraan gender. Salah satu bentuk dari fenomena tersebut yaitu masih adanya deskriminasi yang terjadi pada kaum perempuan, tidak terkecuali yang terjadi di Mesir. Mesir merupakan salah satu negara di kawasan Arab yang masih terikat kuat dengan budaya patriarkhi, dimana patriarki merupakan perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Ideologi patriarki menempatkan perempuan yang masih dianggap sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya dalam kehidupan sosial dan politik terlihat sangat termajinalkan.
Gambar 1.1 : Wanita Mesir yang melakukan demonstrasi
Diskriminasi perempuan menurut CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang dijelaskan pada bagian 1 pasal 1 yang berarti segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu, kekerasan terhadap perempuan merupakan segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi
UN WOMEN muncul di Mesir ketika CEDAW tidak lagi bekerja secara maksimal di Mesir setalah revolusi Mesir di tahun 2011 yaitu jatuhnya rezim Mubarak Husni dan digantikan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata atau Supreme Council on the Armed Forces (SCAF) semakin memperburuk posisi wanita di Mesir. Setelah revolusi 2011, kasus pelecehan seksual yang dialami wanita di jalan-jalan Kairo, Mesir, semakin mengkhawatirkan. Wanita Mesir kerap mendapatkan pelecehan seksual baik dalam bentuk verbal maupun fisik. Laporan PBB pada April mengatakan 99,3 persen perempuan dan anak perempuan di Mesir menjadi korban pelecehan seksual.[1] Terungkap pula hampir 60% perempuan Mesir pernah mengalami pelecehan seksual. Untuk itu, UN WOMEN hadir di Mesir untuk mengatasi hal-hal yang terjadi pada perempuan di Mesir dengan melakukan berbagai upaya. Mesir dibawah pimpinan SCAF (Supreme Council on the Armed Forces) semakin memperburuk posisi wanita di Mesir pasca runtuhnya rezim Mubarak. Sebagai contoh, kuota 64 kursi parlemen atau yang setara dengan 12% nyatanya dibatalkan pada Juli 2011.
United Nations Women (UN Women) sebagai organisasi Interasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berfokus pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dalam mengupayakan penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan di Mesir melakukan berbagai macam program dan kerjasama yaitu:
Gambar 1.2 : Wanita Mesir yang bergabung untuk melakukan demonstrasi
Dalam mengusahakan kesetaraan gender di Mesir, UN Women melakukan berbagai upaya atau program kerja sama dengan pemerintah Mesir yaitu peningkatan kepemimpinan dan partisipasi politik perempuan, seperti yang diketahui bahwa dari masa ke masa jumlah partisipasi perempuan dalam politik baik di tingkat parlemen maupun pemimpin negara tidak signifikan dari setiap periodenya. Untuk itu UN Women Bersama pemerintah Mesir menggalakkan demokrasi dimana perempuan diberdayakan untuk bertindak sebagai warga negara yang sama, dan secara benar terlibat dalam semua tingkat pengambilan keputusan baik di bidang swasta dan public.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga dilakukan melalui program gabungan PBB (UN Joint Programme), UN Women memberikan dukungan terhadap pengembangan kapasitas pemerintah daerah dan penyedia layanan untuk menanggapi dan mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. UN Women berupaya memberikan kontribusi untuk meningkatkan respon terhadap infrastruktur public berbasis gender yang mencakup langkah-langkah praktis untuk meningkatkan keselamatan bagi perempuan dan anak perempuan. Selanjutnya, UN Women mendukung pengembangan kapasitas lembaga pemerintah daerah untuk mencegah dan merespons kekerasan seksual dalam koordinasi dengan organisasi perempuan, masyarakat sipil dan pemangku kepentingan utama lainnya melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas pemelihara dan penyedia layanan mengenai kekerasan seksual di tempat umum. Dalam merealisasikan tujuan-tujuan tersebut dalam rangka mengakhiri kekerasan terhadap perempuan di Mesir, UN Women menciptakan satu program besar bernama “Safe Cities Programme”. Program yang direncanakan akan berlangsung dari tahun 2011-2018 tersebut diluncurkan dengan dukungan dari United States Agency for International Development (USAID), Uni Eropa, dan Kerjasama Spanyol atau Spanish Cooperation (AECID) serta melibatkan kemitraan yang kuat dengan pemerintah Mesir, akar rumput wanita, Lembaga Non-Pemerintah, UN Habitat, badan-badan PBB lainnya, sektor swasta dan mitra lainnya.
Program “Safe Cities” atau yang lebih dikenal “Cairo Safe City” merupakan salah satu bagian dari prakarsa global UN Women dalam menciptakan kota aman “Safe City” di lebih dari 20 kota di berbagai Negara, tidak terkecuali di Mesir. Fokusnya adalah melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan dalam konteks Model Kota Aman. Tujuan utama Safe City adalah untuk menyediakan institusi yang relevan di Mesir dengan keterampilan dan pengetahuan untuk menanggapi, dan mencegah kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan di tempat umum, sekaligus mengurangi prevalensi kekerasan tersebut dalam pelaksanaannya.
Hingga akhirnya, Pada tahun 2014 untuk pertama kalinya dalam sejarah Mesir membentuk hukum "pelecehan seksual". Hukum ini merupakan langkah besar untuk mencapai keamanan perempuan dan anak perempuan Mesir di ruang publik. Undang-undang ini merupakan hasil konkret dari upaya gabungan oleh Pemerintah Mesir bersama dengan masyarakat sipil dan badan-badan PBB tidak terkecuali UN Women.
Referensi :
[1]Egidius Patnistik. 2013. “Mesir Negara Arab Terburuk Untuk Perempuan”. Di akses melalui https://internasional.kompas.com/read/2013/11/12/1552435/Mesir.Negara.Arab.Terburuk.untuk.Perempuan
Comments