top of page
Writer's pictureadmin

PERANG DAGANG JEPANG – KOREA SELATAN SEMAKIN MEMBURUK, APA RESPON WTO?

Oleh Jesica Nikita Rachel br Ginting


Korea Selatan dengan Jepang mengalami ketegangan hubungan dagang. Ketegangan ini semakin memanas pada pertengahan tahun 2019, tepatnya di bulan Juli. Kedua negara raksasa Asia ini berselisih karena pemutusan ekspor bahan kimia sepihak oleh Pemerintah Jepang kepada Korea Selatan. Hal ini semakin diperparah dengan penghapusan Korea Selatan dari daftar putih atau white list perdagangan Jepang.


Penyebab dari penghapusan Korea Selatan dari white list perdagangan Jepang karena terbukanya kembali lembaran luka lama sejarah Korea Selatan dengan Jepang. Diasumsikan bahwa tindakan tersebut merupakan buntut dari perselisihan politik dan ekonomi yang timbul akibat pembayaran kompensasi pekerja paksa selama Perang Dunia II. Diketahui melalui putusan pengadilan Mahkamah Korea Selatan agar Jepang membayar kompensasi atas warganya yang menjadi korban pekerja paksa perang dari tahun 1910-1945. Namun Jepang menolak keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa kompensasi itu telah diselesaikan berdasarkan Perjanjian 1965. Walaupun perjanjian tersebut telah menyelesaikan perselisihan antar kedua negara tersebut, namun Korea Selatan merasa bahwa Jepang harus tetap bertanggung jawab.


Menanggapi hal tersebut, Jepang mengambil tindakan terhadap Korea Selatan dengan melakukan pembatasan ekspor tiga bahan yang digunakan dalam chip dan display. Bahan-bahan itu diantaranya adalah fluorinated polyimides, photoresists, dan hydrogen fluoride (tirto.id). Pembatasan ekspor bahan tersebut dapat menghambat proses produksi, seperti Samsung, LG, dan SK Hynix untuk menghasilkan semikonduktor serta layar di ponsel pintar atau smartphone. Hal ini berpotensi memperlambat pasokan produksi di tingkat global, mengingat perusahaan-perusahaan di Korea Selatan merupakan aktor utama yang memegang produksi lebih dari 50 persen semikonduktor dan layar ponsel pintar di dunia.


Perang dagang yang terjadi kemudian berdampak langsung kepada perusahan-perusahaan teknologi terbesar Korea Selatan. Samsung yang merupakan produsen ponsel pintar terbesar telah kehilangan 16 trilliun won US$17,7 miliar dalam nilai pasar di bulan Juli saja. Sementara itu, SK Hynix – pembuat chip memori terbesar kedua di dunia – mengalami kerugian 1,5 trilliun won atau US$ 1,66 miliar.

Dengan berbagai pertimbangan yang dapat mempengaruhi perekonomian domestik Korea Selatan, pemerintah Korea Selatan berupaya untuk melakukan dialog dan negosiasi kembali dengan Pemerintahan Shinzo Abe. Namun ternyata negosiasi tersebut tidak berhasil sehingga Korea Selatan mengajukan gugatan kepada World Trade Organization (WTO) karena tindakan Jepang tersebut telah menyalahi aturan WTO. Membalas tindakan penghapusan Korea Selatan dari white list Jepang, pada 12 Agustus, Korea Selatan mengumumkan mengeluarkan Jepang dari mitra negara terfavorit dan kebijakan tersebut berlaku mulai 1 September lalu.


Selain itu, muncul respon kekecewaan masyarakat Korea Selatan terhadap aksi pembatasan ekspor. Hal ini mengakibatkan aksi pembalasan dari masyarakat Korea Selatan untuk memboikot produk Jepang yang beredar di Korea Selatan. Aksi ini berdampak pada perusahaan besar Jepang, Uniqlo, yang mengalami penurunan tajam atas penjualan produknya. Tidak hanya itu, sebagai bentuk protes, warga Korea Selatan mengkampanyekan untuk berhenti memakai dan mengonsumsi produk Jepang, baik dalam bentuk barang maupun film. Kampanye “Boikot Jepang” memiliki dampak yang sangat besar. Layanan Bea dan Cukai Korea mencatat barang-barang impor Jepang turun 13,8 persen dari bulan Juli 2018. Lalu bagaimana respon Organisasi Dagang Dunia (WTO) untuk menengahi konflik kedua negara tersebut?


Pada bulan April 2018, Komisi Banding WTO telah menanggapi perang dagang tersebut dengan menguatkan putusan panel terhadap bea anti-dumping Korea Selatan atas valve impor produk Jepang. Hasil sidang WTO menyatakan bahwa Korea Selatan telah melakukan tindakan inkosisten terhadap pemerintah Jepang dengan beberapa ketentuan Perjanjian Anti – Dumping WTO yang menimbulkan kerugian pada produsen domestik. Para hakim WTO mengatakan bahwa Korea Selatan gagal memberikan ringkasan informasi bisnis dalam sidang. Menteri Perdagangan Jepang, Hiroshige Seko, menyambut baik keputusan WTO tersebut. Hiroshige meminta agar Korea Selatan menarik tindakan-tindakan tidak adil terhadap perusahaan-perusahaan Jepang yang terkena dampak perang dagang ini. Jika Korea Selatan tidak mematuhinya, maka Jepang memiliki hak untuk melakukan tindakan balasan di bawah WTO. Nilai ekspor valve Jepang ke Korea Selatan tahun 2018 adalah 6,4 miliar yen (US $ 60 juta/Rp 843 miliar). Terkait persoalan ini, Korea Selatan belum dapat memberi komentar langsung. Valve yang mengontrol pergerakan udara merupakan chip dan alat industrial. Korea Selatan mengenakan bea anti dumping sebesar 12% hingga 23% pada valve Jepang pada bulan Agustus 2015 (cnbcindonesia.com).


Namun sampai saat ini, peran WTO dalam menengahi kasus perang dagang Jepang – Korea Selatan tidak membuahkan banyak kemajuan dalam menyelesaikan permasalahan antar kedua negara tersebut. Sampai saat ini, belum ada akhir dari permasalahan ini. WTO sebagai pihak ketiga belum dapat meredam amarah dari kedua negara Asia Timur tersebut. Kedua negara tersebut saling lempar ancaman yang mengakibatkan suasana semakin memanas. Harusnya WTO dapat lebih memposisikan diri sebagai penengah atau mediator atas konflik ini. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh terhadap perekonomian global dan bahkan bisa menjadi hambatan dalam upaya denuklirisasi Korea Utara, karena hubungan bilateral Jepang dan Korea Selatan yang semakin merenggang.


REFERENSI:






430 views0 comments

Comments


bottom of page