Oleh : Muwalliha Syahdani
Ada kata kunci yang melatarbelakangi tradisi teoritik hubungan internasional. Kata tersebut adalah “Perang”. Dunia modern lahir dari berbagai konflik antar bangsa, sebut saja Perang Dunia I, Perang Dunia II, sampai Perang Dingin. Begitu juga dengan teori HI yang selalu bersintesa setelah perang. Perang Dunia I melahirkan meta teori Realisme yang dianggap cukup capable dalam menjelaskan fenomena tersebut. Hingga setelah Perang Dunia II, atau setelah lahirnya organisasi internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Liberalisme mulai digunakan sebagai penjelas realitas dunia.
Realisme memulai premise mereka dengan menjelaskan kondisi dunia yang anarki. Dengan kondisi seperti ini, negara memiliki kecenderungan untuk berkonflik. Para aktor dalam hubungan internasional digambarkan oleh dominasi negara bangsa yang mengejar kepentingan nasional mereka. Negara bangsa, dalam hubungannya, mencari power yang digunakan untuk mencapai kepentingan nasional atau mendominasi satu sama lain. National interest above all. Negara yang mengincar power cenderung memandang sinis satu sama lain sehingga kerja sama antar negara mustahil untuk dicapai.
Perang Dunia I adalah penggambaran yang paling sempurna untuk dijelaskan dengan kacamata Realisme. Aktor yang disebut negara berperang, membentuk aliansi tanpa ada pemerintahan sentral diantara mereka (a world of anarchy). Hingga dunia sepakat untuk bekerja sama dan membentuk satu lembaga/organisasi internasional yang disebut Liga Bangsa-Bangsa demi mencegah terjadinya perang dunia kembali. Pilihan melakukan kerja sama seperti ini digambarkan dengan baik oleh teori Liberalisme.
Namun, yang terjadi, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) gagal menjalankan amanatnya. Perang dunia kembali meletus. Pendirian Liga Bangsa-Bangsa dimaksudkan agar negara mencari penyelesaian melalui cara-cara pasifistis – melakukan penyelesaian konflik dengan damai seperti negosiasi – dan seluruh negara saat itu seharusnya masuk bergabung sebagai anggota Liga Bangsa-Bangsa (sayangnya, AS memilih untuk tidak bergabung padahal AS adalah salah satu pendiri LBB).
Dunia berkembang begitu juga dengan teori hubungan internasional. Teori mengambil ‘kenyataan empirik’ sebagai pengambarannya. Dunia berubah banyak setelah perang dunia terjadi, masyarakat mulai mencari perdamaian sebagai kondisi yang menjamin terlaksananya kehidupan yang lebih baik. Atas kegagalan LBB diatas, dunia membentuk satu organisasi baru yang masih bertahan sampai sekarang yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi universal yang beranggotakan hampir seluruh negara yang ada di dunia.
PBB dibentuk dengan sangat optimis oleh negara pendirinya juga dunia luas setelah berakhirnya perang dunia kedua. Teori liberalisme seperti menemukan justifikasinya dari bentuk kerja sama yang dilakukan. Namun, dengan berbagai kerja sama yang dilakukan, PBB masih merupakan subordinasi dari negara hegemon terutama mereka yang disebut anggota tetap Dewan Keamanan (Permanent five of Security Council) yang terdiri dari AS, Cina, Russia, Inggris dan Perancis.
Gambar 1.1 : United Nations Headquarter di New York
Dewan Keamanan adalah organ eksekutif PBB yang mampu melahirkan resolusi, yang memiliki kekuatan paksaan yang mengikat bagi negara anggota PBB. Anggotanya, terdiri dari, lima negara pemenang perang dunia kedua yang dianggap sebagai penuntun bagi terciptanya perdamaian. Selain itu, kelima negara tadi memiliki power baik materi (dari kapabilitas militer dan kekuatan ekonomi) maupun immateri (kepemimpinan, kecakapan, latar belakang sejarah yang kaya) membuat mereka bisa bertindak seolah sebagai ‘pemimpin’ bagi negara-negara lain.
Namun, dengan berbagai amanat yang diemban PBB, salah satunya untuk mencapai perdamaian dunia, sepertinya dalam waktu dekat amanat tersebut masih sulit untuk dicapai. Dunia bebas konflik tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Ini dikarenakan masing-masing negara masih mengedepankan kepentingan nasional mereka terutama P5 dari Dewan Keamanan. Hal ini seperti yang dipecayai oleh Realisme, sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan Liberalisme, yang melihat kemungkinan untuk damai dan bekerja sama dengan mutual interest.
Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti AS melindungi sekutu mereka, Israel dari berbagai resolusi yang menyudutkan mereka. Keterlibatan PBB dalam konflik Israel-Palestina telah menjadi bahan diskusi sejak awal PBB berdiri. Dimulai dari “penyerahan” Palestina oleh Inggris tahun 1946 ke meja PBB untuk didiskusikan masalahnya dengan Israel. Hingga sekarang PBB gagal menyelesaikan konflik antara kedua entitas tersebut. Tercatat, lebih dari 43 kali AS menggunakan hak vetonya untuk mengagalkan resolusi yang mengancam posisi kepentingan nasionalnya terhadap Israel. Israel juga beberapa kali telah mempengaruhi AS agar meloloskan resolusi yang menghalangi Palestina untuk mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka. (Talib, 2015)
Seperti pendapat penulis, kegagalan PBB mendorong perdamaian Israel – Palestina dari beberapa sebab yang dijelaskan diatas, mencerminkan pengambilan keputusan dalam organ PBB masih didominasi oleh negara pemilik hegemon, dalam hal ini adalah Amerika Serikat. Hingga beberapa titik, PBB masih bergerak dibawah bayang-bayang sovereignty negara bangsa. Kondisi seperti ini yang merefleksikan power dan national interest masih berlaku bahkan di organisasi internasional yang dibangun dengan optimisme cinta damai dan semangat kebebasan seperti yang dibawa oleh liberalisme.
Sebagai penutup, Alexander Wendt pernah berujar: “Anarchy is what states makes of it” yang menjelaskan kondisi dunia yang anarki dan self-help bukan merupakan kondisi alamiah melainkan sebuah proses yang melibatkan identitas dan interaksi.
Further Reading :
Comments