Mengacu pada pernyataan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda, selaku Ketua KTT ASEAN saat itu,[1] hakikat dari ASEAN Community adalah terwujudnya suatu integrasi penuh kawasan yang damai dan sejahtera. ASEAN Community akan ditandai dengan semakin besarnya interaksi bidang politik dan keamanan. Terwujudnya masyarakat yang peduli dan berbagi, yang menitikberatkan pada pembangunan sosial, pendidikan dan pengembangan manusia, kesehatan masyarakat, kebudayaan dan informasi, serta perlindungan lingkungan. Pembentukan ASEAN Community yang ditetapkan pada KTT IX di Bali, Indonesia tahun 2003[2] dan disempurnakan pada KTT ASEAN X di Vientiane, Laos dan pada tahun 2009 ASEAN telah melahirkan ASEAN Charter yang menunjukan ASEAN sebagai institusi mulai bergerak dari less institutionalized menjadi higly institutionalized dengan tiga pilar yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economy Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Adapun agenda ini direncanakan ASEAN akan dimulai pada tahun 2020, yang dipercepat menjadi 2015. Hal ini berarti ASEAN juga merupakan komunitas masyarakat yang keputusan di dalamnya pun selayaknya melibatkan actor non-state.
Masalah demokrasi menjadi penting karena secara tidak langsung akan berdampak pada bagaimana negara di ASEAN dapat membangun good governace dan menjamin penegakan HAM di negaranya. Demokrasi akan mendorong kebebasan berpendapat, keterbukaan media sehingga berbagai pelanggaran HAM bisa disorot lebih tajam dan kritis.[3] Masalah demokrasi secara langsung penting untuk mendorong percepatan komitmen ASEAN dalam upaya menciptakan ASEAN sebagai komunitas “people oriented”. Dengan demokrasi kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam tataran pengambilan keputusan di ASEAN akan terbuka lebih lebar. Sebagaimana dalam Piagam ASEAN Bab I, pasal 1 (ayat 7)[4] disebutkan bahwa sebagai Komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas yang ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Langkah yang telah dilakukan ASEAN berkaitan dengan penegakan demokrasi pada tingkat Regional adalah dengan mengadakan berbagai forum terkait promosi Demokrasi.
Pembahasan negara-negara ASEAN selanjutnya meliputi isu-isu terkait kemandirian dan transparansi penyelenggara pemilu sebagai alat berdemokrasi di ASEAN yang bertujuan yakni saling tukar pengalaman dari sesama KPU Asean tentang bagaimana menata sebuah sistem kelembagaan demokrasi dari penyelenggara Pemilu yang mandiri, akuntabel dan diakui secara internasional kredibilitasnya. Dari pertemuan ini dihasilkan “Deklarasi Jakarta” yang merupakan kesepakatan semua peserta mengenai penyelenggaraan pemilu yang kredibel di kawasan Asia Tenggara agar dapat diimplementasikan di negara masing-masing. Deklarasi Jakarta berisi sembilan poin, antara lain menyangkut partisipasi rakyat dalam sistem politik; ekonomi, sosial, dan budaya; mempromosikan kesetaraan gender dan persamaan hak bagi penyandang disabilitas; pelaksanaan regulasi yang baik mengenai partai politik dan dana kampanye; serta pertimbangan mendalam mengenai teknologi yang digunakan dalam pemilu.
Berdasarkan berbagai hal di atas maka dapat dilihat bahwa upaya ASEAN terkait dengan penegakan demokrasi adalah dengan perjuangan prinsip demokrasi ini untuk ruang lingkup regional dan sangat mudah dipahami bahwa upaya penegakan demokrasi akan sangat bergantung bagaimana ASEAN dapat menjadikan demokrasi sebagai nilai yang diterima bersama. Untuk itu, sulit menjadikan demokrasi ini untuk dilembagakan, karena masing-masing negara di ASEAN pun memiliki masalah penegakan demokrasi tersendiri di masing-masing negaranya dan hingga saat ini, ASEAN sebetulnya hanya “membuat suatu proses” ketimbang mencapai suatu kemajuan dalam penegakkan Demokrasi.[5] Kesenjangan ini jelas merupakan hambatan bagi ASEAN untuk beranjak dari posisinya saat ini, terutama untuk menerapkan prinsip-prinsip baru terutama dalam hal menegakkan demokrasi dan HAM.[6] Sulit bagi ASEAN mencapai satu komunitas dengan nilai demokrasi jika masalah internal penegakan demokrasi di dalam ranah domestik belum dapat diatasi dan jika masih ada prinsip non-intervensi karena ASEAN tidak akan punya daya paksa untuk menciptakan satu mekanisme conflict resolution. Di satu sisi, ASEAN dari segi visi telah memproyeksikan dirinya untuk menjadi suatu institusi yang terintegrasi, namun disisi lain masih belum mengubah kesetiaannya kepada interpretasi yang kaku terhadap prinsip kedaulatan dan non-intervensi.
[1] “40 Tahun ASEAN, Komunitas harus Jadi Kepentingan Indonesia”, diakses pada tanggal 02 April 2018 dari www.indonesiaseoul.org/indonesia/rubrik/view.php?kat=7&id=66.
[2] “Declaration of Bali Concord II”, diakses pada tanggal 02 April 2018 dari www.aseansec.org.
%20HAM_Vol9_ No1_2011.pdf, diakses pada tanggal 02 April 2018
asean-charter/, diakses pada tanggal 03 April 2018
[5] David martin Jones & Michael L. R Smith, Making Process, not progress: ASEAN and the evolving East Asian Regional Order, International Security, Vo. 32, No. 1, hal. 148-184
asean-charter/, diakses pada tanggal 03 April 2018
-Penulis
Zaki Adi Saputra
UPN Veteran Yogyakarta
Peringkat 5 Essay Competition
Comentários