top of page
Writer's pictureadmin

Respon Uni Eropa Terhadap Kudeta di Myanmar

Oleh: Nurul Mardiyati


Seperti yang diketahui, Kudeta yang terjadi di Myanmar yang dilakukan oleh kelompok militer belum menemukan titik penyelesaiannya. Sampai saat ini, Myanmar masih berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan dan menahan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi serta pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada 1 Februari 2021. Tindakan yang dilakukan militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi tersebut dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atau kejahatan kemanusiaan, serta melanggar hukum kemanusiaan internasional, dimana dalam aksi tersebut per tanggal 17 Mei 2021, menurut data dari Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) total warga sipil yang tewas adalah 802 orang, 4.120 orang ditahan dan 20 orang diantaranya telah dijatuhi hukuman mati oleh Junta Militer (Kompas,2021). Hal tersebut mendapat banyak kecaman dari masyarakat internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan Amerika Serikat.


Dalam merespon kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Myanmar, Uni Eropa telah sepakat menjatuhkan sanksi tegas terhadap anggota junta militer Myanmar yang mengambil kendali atas Myanmar dalam kudeta 1 Februari. Uni Eropa memberikan sanksi kepada Menteri Informasi baru dan 2 (dua) konglomerat yang dikendalikan oleh militer. Selain itu, sanksi diberikan kepada 11 pejabat militer senior, termasuk panglima tertinggi Myanmar yang memimpin kudeta yaitu Jenderal Min Aung Hlaing berupa larangan perjalanan dan pembekuan aset karena telah merusak demokrasi di Myanmar dan melanggar hak asasi manusia. Langkah tersebut telah memasukkan total orang Myanmar yang masuk daftar hitam (blacklist) oleh Uni Eropa menjadi 35 orang (CNN, 2021). Langkah-langkah pembatasan baru yang secara khusus menargetkan kepentingan ekonomi rezim militer Myanmar, yang bertanggung jawab atas penggulingan pemerintah yang dipilih secara demokratis di Burma.


Uni Eropa juga telah menargetkan 2 (dua) perusahaan yang berkontribusi dalam menghasilkan pendapatan bagi Angkatan Bersenjata Myanmar yaitu Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Coorperation (MEC) yang memiliki sejumlah perusahaan di bidang pertambangan, manufaktur, makanan dan minuman, hotel, telekomunikasi dan parbankan. Mereka termasuk perusahaan pembayar pajak terbesar di Myanmar yang berkontribusi dalam mendukung aksi merusak demokrasi dan supremasi hukum serta pelanggaran hak asasi manusia yang sedang terjadi di Myanmar. 2 (dua) perusahaan tersebut dijatuhkan sanksi berupa larangan melakukan bisnis dengan investor dan perbankan yang ada di wilayah Uni Eropa. Selain itu, sanksi lainnya adalah Uni Eropa telah mengembargo pengiriman senjata, peralatan militer, teknologi komunikasi dan barang lainnya ke Myanmar serta semua bantuan finansial langsung dari sistem pembangunan untuk program reformasi Myanmar telah ditangguhkan oleh Uni Eropa. (Republika, 2021)


Kudeta telah menjerumuskan Myanmar ke dalam krisis setelah 10 tahun menyusun langkah tentatif menuju demokrasi. Oleh karena itu, Uni Eropa mengambil respon dalam pemberian sanksi tegas terhadap militer Myanmar yang merupakan langkah proaktif dari Uni Eropa dalam mendukung proses pemulihan kembali demokrasi di Myanmar dan memperjuangkan hak asasi manusia. Dalam kesepakatannya, Uni Eropa telah mengusahakan bahwa sanksi yang diberikan atas terjadinya kudeta Myanmar tidak memberikan kerugian yang semestinya kepada masyarakat sipil dan pembuatan sanksi tersebut telah sesuai dengan mekanisme dari Uni Eropa.


25 views0 comments

Comments


bottom of page