top of page
Writer's pictureadmin

Taliban Dianggap Batasi Hak-Hak Perempuan di Afghanistan, Apa Tanggapan PBB?

Oleh : Anisa Fitrianingsih


Zaman semakin berkembang, perempuan sudah semakin terlihat di berbagai bidang kehidupan. Para perempuan kini memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam politik, berkesempatan untuk berperan aktif dalam ekonomi, berpendidikan tinggi sekaligus memberikan pendidikan, dan juga berperan dalam bidang kesehatan. Meskipun demikian, di tengah-tengah era modern dimana penduduk global telah sadar akan pentingnya mengutamakan kesetaraan gender, di negara tertentu masih kerapkali ditemukan adanya diskriminasi terhadap perempuan.


Berbagai negara di dunia telah mendukung kesetaraan gender dan menjunjung tinggi hak hak perempuan. Namun, dalam praktiknya, masih ada beberapa negara yang masih penuh tantangan dan tidak aman bagi perempuan yang hidup di sana. Salah satunya yakni di Afghanistan, apalagi sejak dikuasai oleh kelompok Taliban (sebuah gerakan nasionalis islam Sunni) bulan Agustus lalu. Jatuhnya pemerintahan Afghanistan ke tangan para pejuang Taliban pada Minggu (15/8/2021) yang ditandai dengan keberhasilannya menguasai istana kepresidenan ibukota Kabul telah memberikan dampak pada kehidupan masyarakat Afghanistan, salah satunya terhadap kehidupan serta hak-hak perempuan di negara tersebut. (Aljazeera.com, 2021).

Setelah menjadi penguasa di Afghanistan secara de facto, Taliban telah berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan warga Afghanistan. Hal tersebut tentu menjadi kabar gembira bagi masyarakat Afghanistan karena kekuasaan Taliban yang penuh dengan kekerasan dan ketidakadilan sejak tahun 1996 silam. Taliban melarang anak perempuan 10 tahun ke atas untuk memperoleh pendidikan, perempuan dan anak perempuan sejak saat itu semakin terdiskriminasikan dan terpinggirkan secara sistematis, serta hak-hak asasi mereka dilanggar baik dalam aspek bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya hingga kesehatan. Kembalinya kekuasaan Taliban beberapa waktu lalu memang menjadi kabar yang mengkhawatirkan.


Janji Taliban untuk memenuhi hak hak perempuan Afghanistan diungkapkan pada konferensi pers di Kabul pada Selasa (17/8) juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid menyampaikan masalah hak-hak perempuan "sangat penting" dan mereka "berkomitmen atas hak-hak perempuan dalam kerangka Syariah”, Zahibullah Mujahid menjelaskan Taliban ingin meyakinkan dunia “bahwa tidak akan ada diskriminasi terhadap kaum perempuan, tapi tentu saja dalam kerangka yang kita miliki” (voaindonesia.com,2021). Namun, setelah Taliban berkuasa beberapa waktu situasi justru tak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan sebelumnya. Khususnya terhadap kondisi kaum perempuan yang dianggap mengancam jiwa dan menjadikan perempuan semakin sulit memperoleh akses Pendidikan.


Mengutip dari CNN Indonesia, bahwa janji yang telah dilontarkan juru bicara Taliban pasca berhasilnya menguasai Afghanistan tak tercerminkan sama sekali, bahkan seluruh kabinet saat ini diisi oleh laki-laki. Perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Alison Davidian mengatakan bahwa Taliban telah menyia-nyiakan kesempatan penting untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa mereka menghormati hak-hak perempuan, salah satunya dalam politik.


Pernyataan di atas dibuktikan dengan beberapa sikap dan tindakan Taliban yang dinilai menampik peran dan keberadaan perempuan : Pertama, larangan terhadap perempuan untuk berolahraga. Menurut penilaian Taliban bahwa perempuan yang berolahraga tidak sesuai dengan syariat Islam yang mereka anut. mereka khawatir tubuh perempuan akan terekspos ketika melakukan olah raga. Kedua, perempuan dicambuk waktu melakukan aksi demo. Hal tersebut diketahui setelah sejumlah milisi Taliban dilaporkan mencambuk para demonstran perempuan yang menyuarakan protes mereka atas susunan kabinet yang yang telah dibuat. Kabinet Taliban sendiri dipenuhi oleh pria ber-etnis Pashtun. Salah satu perempuan yang merupakan salah satu demonstran itu mengatakan bahwa Taliban menggunakan cambuk hingga tongkat untuk membubarkan massa yang berkumpul di Kabul pada 8 September lalu. Ketiga, larangan perempuan untuk ikut berperan dalam pemerintahan dengan alasan perempuan tidak mampu memimpin kementerian, diucapkan oleh salah satu juru bicara Taliban Syed Zekrullah Hashmi. Keempat, larangan perempuan untuk berbaur belajar dengan laki-laki dan yang kelima adanya komentar diskriminatif dari salah satu juru bicara Taliban bahwa perempuan hanya bertugas untuk melahirkan dan membesarkan anak, secara tak langsung pernyataan tersebut membatasi perempuan dalam bidang politik dan edukasi (cnnindonesia.com,2021).


Kebijakan tersebut dituding oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena Taliban dianggap mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan inklusif dan representative di Afghanistan. Menurut pernyataan komisioner tinggi Dewan HAM PBB Michele Bachelet, kebijakan Taliban di Afghanistan sangat kontroversial karena secara perlahan menyingkirkan perempuan dari ruang publik. Akibatnya, PBB mendesak komunitas internasional untuk aktif mengawasi penegakan hak hak perempuan di Afghanistan dengan membuat mekanisme khusus. Hal tersebut juga didukung oleh UN Women, yang telah dibentuk dan sudah beroperasi di Afghanistan sejak 2002 untuk menjawab tantangan PBB dalam upaya mempromosikan kesetaraan gender secara global. UN Women mempunyai peran di Afghanistan dalam merubah posisi dan mengatur kembali pemerintahan untuk mendukung penguatan program berbasis hasil dan mempromosikan penerapan nasional untuk kesetaraan gender. Dengan demikian harapan untuk perbaikan rakyat Afghanistan masih ada, namun tetap saja dengan kembali berkuasanya kelompok Taliban atas Afghanistan menimbulkan kecemasan bagi komunitas internasional karena khawatir hak hak perempuan di sana tidak terpenuhi mengingat sejarah perlakuan Taliban terhadap perempuan dalam memimpin pemerintahan, yang begitu otoriter dan menimbulkan kekerasan.

16 views0 comments

Commenti


bottom of page