Melihat kenyataan bahwa silang pendapat antarnegara yang saling memiliki kepentingan seperti yang terjadi dalam tubuh PBB mestinya harus dikesampingkan. Nasionalisme sempit dan prinsip zero sum game juga harusnya bukan lagi menjadi pegangan dalam menyelesaikan permasalahan global. Memang benar adanya apabila setiap negara memiliki kepentingan masing-masing dan mereka pasti akan mempertahankannya. Namun jika sesuatu yang dihadapi adalah isu bersama seperti isu sosial, lingkungan, kemanusiaan, dan isu-isu yang melibatkan harkat dan martabat seluruh umat manusia, akan sangat bijaksana jika negara-negara anggota PBB mampu memposisikan mereka pada posisi yang saling kooperatif.
Selamat ulang tahun, PBB! 24 Oktober diakui oleh seluruh dunia sebagai Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tepat pada 24 Oktober 2018 lalu, organisasi yang bermarkas di New York ini memasuki tahun ke-73 sejak 1945. Hingga saat ini, di usianya yang relatif dewasa, sebagian orang tentu mempertanyakan bagaimana masa depan PBB. Hal ini terkait dengan berkembangnya isu-isu internasional yang memerlukan perhatian khusus dari PBB, selaku International Government Organization (IGO). Apakah PBB akan terus mampu mengakomodasi dan menjadi solusi permasalahan global saat ini? Apalagi hingga detik ini, umat manusia terus dihadapkan pada berbagai ancaman serius, mulai dari perubahan iklim hingga pembersihan etnis, dari kelaparan hingga xenofobia, dari epidemi hingga terorisme. Tidak mungkin bagi negara mana pun untuk melawan masalah-masalah ini sendiri.
Jika kita melihat fenomena-fenomena yang terjadi di ranah global, kita tentu sadar bahwa peran PBB dapat dikatakan belum optimal. Terlihat dari adanya kenyataan bahwa dunia terus menghadapi tantangan global yang kompleks. Ketidakstabilan dan konflik masih merajalela dan mewarnai dunia. Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekstrem terus berlanjut, bahkan pemikiran zero-sum dan nasionalisme sempit sering berlaku. Akibat dari hal tersebut, PBB terus menuai kritik dari berbagai pihak karena dianggap kurang optimal dalam berperan sebagai IGO yang responsif dan bertanggung jawab. Di media massa, sudah banyak pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh negara anggota PBB. Tokoh yang paling hangat menyuarakan pernyataan terkait dengan reformasi PBB adalah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada 24 Oktober 2018 lalu. Beliau menyerukan bahwa reformasi PBB yang telah dibentuk sejak 73 tahun lalu, terutama Sekretariat PBB yang bertanggung jawab pada keamanan dan perdamaian global, tidak bisa ditunda atau diabaikan. Tidak hanya Erdogan, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla juga menilai eksistensi PBB saat ini segera memerlukan reformasi. “Kalau tidak [melakukan reformasi], PBB akan usang dan tidak mampu menjawab kebutuhan dan tantangan hari ini dan esok” kata beliau dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-73 di General Assembly Hall, New York.
Isu reformasi PBB memang sudah cukup lama muncul di permukaan. Konflik-konflik yang seperti terjadi di Timur Tengah seolah menjadi refleksi bagi kita bahwa dalam hal ini PBB kurang mampu menjawab persoalan yang ada. Peran Dewan Keamanan PBB yang seharusnya ada sebagai pihak penengah justru tidak mampu bergerak lebih dinamis akibat adanya prinsip-prinsip yang menghalangi, salah satunya dengan adanya hak veto. Hak Veto terus menjadi obyek kritik paling pedas dari berbagai kalangan karena dianggap sudah tidak relevan bagi perkembangan zaman. Negara-negara yang dianugerahi veto dianggap tidak fair karena menggunakan hak ini untuk mencapai kepentingan politiknya dalam suatu kasus tertentu. Akibatnya, kesepakatan yang harusnya bisa tercapai sebagai solusi atas permasalahan yang ada, justru menjadi sulit untuk mencapai titik temu, ketika salah satu negara melakukan veto pada keputusan yang dianggap merugikan negaranya. Lagi-lagi, dalam hal ini prinsip demokrasi dalam tubuh PBB masih perlu dipertanyakan kejelasannya.
Lebih lanjut terkait reformasi PBB, beberapa tahun lalu sudah dilakukan sejumlah upaya untuk mereformasi struktur PBB dan memulihkan peran lembaga ini dalam menyelesaikan berbagai krisis global. Akan tetapi, karena perbedaan pendapat di antara negara anggota PBB, hingga kini upaya tersebut tidak bisa direalisasikan. Selain itu, seluruh prakarsa untuk mereformasi struktur Dewan Keamanan hingga kini belum disepakati oleh semua anggota tetap. Amerika Serikat, sebagai negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB juga telah memulai manuver baru untuk merealisasikan reformasi PBB, di sidang Majelis Umum PBB ke-72. Presiden Donald Trump, pada tanggal 19 September 2017 lalu memprotes birokrasi dan mismanajemen dalam PBB. Ia menuntut dilakukannya reformasi yang benar-benar berani di PBB.
Trump mengklaim, PBB dalam beberapa tahun terakhir, dikarenakan masalah birokrasi dan mismanajemen, tidak mampu menggunakan seluruh kapasitasnya. Padahal anggaran lembaga ini meningkat sekitar 140 persen sejak tahun 2000 dan pegawainya bertambah dua kali lipat. Sehubungan dengan hal ini, draf deklarasi politik yang berisi 10 pasal yang disusun oleh Amerika Serikat, disampaikan oleh Nikki Haley (wakil tetap Amerika Serikat di PBB) untuk ditandatangani oleh 128 negara. Deklarasi politik itu mendukung upaya-upaya Antonio Guterres, Sekjen PBB dalam memulai reformasi efektif dan bermakna di PBB. Dalam deklarasi itu, disebutkan bahwa PBB harus berubah menjadi sebuah kekuatan yang lebih efektif dalam menyelesaikan berbagai krisis global. Akan tetapi, deklarasi Amerika ini ditentang oleh sejumlah negara di antaranya Rusia dan Cina. Pemerintah Rusia mendukung reformasi PBB untuk mengurangi birokrasi yang ada, namun setiap perubahan dalam struktur lembaga ini harus dihasilkan dari dialog seluruh anggota, bukan deklarasi sepihak dari Amerika.
Melihat kenyataan bahwa silang pendapat antarnegara yang saling memiliki kepentingan seperti yang terjadi dalam tubuh PBB mestinya harus dikesampingkan. Nasionalisme sempit dan prinsip zero sum game juga harusnya bukan lagi menjadi pegangan dalam menyelesaikan permasalahan global. Memang benar adanya apabila setiap negara memiliki kepentingan masing-masing dan mereka pasti akan mempertahankannya. Namun jika sesuatu yang dihadapi adalah isu bersama seperti isu sosial, lingkungan, kemanusiaan, dan isu-isu yang melibatkan harkat dan martabat seluruh umat manusia, akan sangat bijaksana jika negara-negara anggota PBB mampu memposisikan mereka pada posisi yang saling kooperatif.
Dalam hal ini, penulis juga cukup optimis jika PBB dapat direformasi suatu saat nanti. Baik itu secara struktural maupun birokratis. Di samping itu, di usianya yang menginjak umur 73 tahun, PBB masih memiliki harapan untuk menjadi suatu organisasi antarnegara yang masih kredibel dalam menjawab permasalahan global melalui program-program Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah mulai populer dan mendapatkan respon positif dari berbagai lapisan masyarakat.
Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa!
- Penulis
Ahmad Shidqi Mu'afa
Koordinator Umum 2017/2018
Comments