Oleh: Ridha Elfitra Hibaturrahma
Berbagai konflik dan kejadian menyebabkan seseorang menjadi pengungsi atau pencari suaka di suatu negara atau ke negara lain. Afghanistan belakangan ini menjadi salah satu negara yang mendapat perhatian internasional, karena setelah Taliban kembali berkuasa, banyak warga Afghanistan yang mengungsi dan mencari suaka di negara lain. Pengungsi dan pencari suaka dari Afghanistan tersebar luas di banyak negara termasuk Indonesia. Pada periode Januari-Agustus suaka menerima 52 laporan dan 12 laporan berasal dari pengungsi serta para pencari suaka asal Afghanistan.
Terdapat beberapa faktor yang memicu perpindahan yang dilakukan oleh penduduk dalam suatu negara untuk mengungsi atau mencari suaka. Faktor yang pertama yaitu ekonomi, biasanya terjadi karena adanya kemiskinan, ketimpangan sosial, serta pengangguran karena terbatasnya lapangan pekerjaan. Kedua yaitu sosial, misalnya karena keluarga dan penyatuan kembali jaringan diaspora. Ketiga yaitu adanya masalah dalam perlindungan seperti pelanggaran hak asasi manusia, konflik bersenjata, serta gangguan terhadap ketertiban umum. Karena pada hakikatnya negara menjadi penanggung jawab utama dalam melindungi warganya yang tinggal di wilayah mereka. Namun Ketika negara sudah tidak dapat menjadi tempat untuk berlindung, maka warganya secara alamiah akan berupaya untuk menyelamatkan diri sekalipun harus melintasi perbatasan negaranya. (Diovio Alfath, 2021)
Badan PBB yang menangani pengungsi dan pencari suaka adalah UNHCR yang memiliki salah satu kantor perwakilan di Jakarta mencatat pada Agustus 2021, jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia mencapai 13.343. Peran UNHCR meliputi lima hal. Pertama, mendukung pemerintah untuk memberikan perlindungan internasional bagi pengungsi dan pencari suaka. Kedua, mencari solusi yang komprehensif bagi pengungsi. Ketiga, menyebarluaskan informasi tentang pengungsi dalam hukum internasional. Keempat, menangani pengungsi internal. Kelima, mencegah dan mengurangi terjadinya orang-orang tanpa kewarganegaraan dan melindungi orang-orang tanpa kewarganegaraan.
Dalam menghadapi pencari suaka dan pengungsi, setidaknya ada dua prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama, asas dekriminalisasi, yaitu negara tidak menjatuhkan sanksi pidana kepada pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah negara tanpa prosedur. Kedua, asas non-refoulement, yang menjamin tidak seorang pun akan dikembalikan ke negara yang akan menghadapi penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan kerugian lainnya. Saat berhadapan dengan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, setidaknya ada empat hal yang dilakukan UNHCR. Pertama, memberikan bantuan keuangan berupa tunjangan pokok bulanan untuk mensubsidi kebutuhan dasar 400 kelompok paling rentan. Kedua, pusat pembelajaran telah didirikan di Ciputat dan Tebet untuk menyediakan kursus bahasa Inggris, Indonesia, dan komputer. Ketiga, UNHCR mendukung lima shelter di Jakarta untuk melindungi anak-anak tanpa pendamping. Keempat, pengungsi dan pencari suaka dapat masuk ke Puskesmas. UNHCR akan membantu rujukan ke pusat kesehatan dan kasus kesehatan yang mengancam jiwa. Ada juga hotline 24 jam yang siaga untuk membantu para pengungsi. UNHCR juga memberikan bantuan kesehatan mental kepada para pengungsi. (hukumonline.com, 2021)
Dalam menjalankan tugasnya di Indonesia UNHCR juga menghadapi berbagai tantangan dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi yang ada di Indonesia. diantaranya yaitu kerangka hukum Indonesia termasuk konvensi pengungsi tahun 1951 belum diratifikasi, pemrosesan kasus individu dalam akses mencari suaka, akses terhadap keadilan, pendidikan, dan kesempatan Kesehatan, hak berpindah dan bergerak (penangkapan dan penehanan), pencatatan sipil, memperoleh mata pencaharian, dan mentalitas pemerintah, masyarakat, dan pengungsi. Untuk meningkatkan penanganan pengungsi dan pencari suaka yang dapat dilakukan pemerintah setidaknya yaitu lima hal. Pertama, mengevaluasi Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri dan Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Pengungsi Berbasis Hak Asasi Manusia. Kedua, dengan menggalang dukungan publik untuk mendorong perubahan dan menghentikan stigmatisasi kelompok pengungsi, serta meningkatkan kesadaran publik. Ketiga, toleransi mencakup partisipasi kelompok pengungsi dalam penyusunan program pemerintah. Prinsip non-diskriminasi diterapkan dalam pemenuhan hak-hak pengungsi. Keempat, kerjasama antara pemerintah, lembaga internasional dan masyarakat sipil. Kelima, pemberdayaan, misalnya dengan memperkuat kemampuan pengungsi untuk mempertahankan haknya dan memperkuat kegiatan ekonomi.
Comments