top of page
Writer's pictureadmin

WHAT A PRESS WITH THE LIMIT : Tinjauan Kritis Terhadap Freedom Of Press Sebagai Instrumen Demokrasi

Updated: May 24, 2018


“Freedom of the press is limited to those who own one”- A.J.Liebling, A Journalist. Kutipan tersebut nampaknya cenderung relevan dengan realita pers dewasa ini. Pers sebagai instrumen demokrasi di suatu Negara kerap dianggap tidak sepenuhnya merepresentasikan bentuk demokrasinya. Pasalnya beberapa pihak berkepentingan diduga memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi Freedom of press. Apa yang diutarakan pers bukan lagi perihal kebebasan berpendapat, wujud aspirasi masyarakat sebagaimana mestinya dalam asas demokrasi, akan tetapi tergantung pada siapa yang memiliki power untuk dapat mengendalikan pers sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tergantung pada pemilik modal atau mungkin rezim yang berkuasa. Di alam demokrasi, pers yang sejatinya diperuntukan untuk dapat menjaga stabilitas serta integritas bangsa melalui informasi yang diberikan, menjadi bias dari penguasa. Beberapa negara di ASEAN dianggap kurang, serta rendah dalam hal freedom of press. Indonesia dan Singapura menjadi dua negara anggota ASEAN dengan karakteristik demokrasi serta kecenderungan freedom of press yang kian dikatakan berbeda namun pada realitanya cukup memiliki beberapa persamaan yakni freedom of press yang cenderung dikendalikan. Indonesia dengan tittle negara paling demokratis dan berkebebasan pers terbaik di ASEAN (Purnomo, 2009) justru menjadi paradoks tatkala masih saja dihadapkan pada berbagai problematika kebebasan pers, salah satunya pada kebijakan UU MD3 yang sempat dianggap kontoversial oleh masyarakat Indonesia, terlebih saat fokus kebijakan didalamnya yakni mengatur perihal larangan mengkritik DPR RI, hal tersebut dianggap memasung kebebasan pers (Lellolsima, 2018), sekaligus membentuk citra bahwa pemerintah tidak sepenuhnya demokratis karena telah memberikan limitasi terhadap pers untuk dapat kritis dalam menyerukan pendapat serta aspirasi rakyat dan justru sebaliknya yakni menguatkan tujuan dari pemilik kepentingan. Sementara di Singapura sebagai negara yang mempertahankan model soft-authoritarian membuatnya semu akan demokrasi. Beberapa kebijakan pemerintah bersifat membatasi kebebasan rakyat, ditinjau dari pengawasan pemerintah terhadap pers. Pers haruslah bertindak sebagai pemberi informasi guna menjadi input terhadap kebijakan pemerintahan, bukan untuk mengkritik pemerintahan (Hairi, 2015). Demokrasi di kedua negara anggota ASEAN ini nampaknya mengalami kemunduran ditinjau dari perspektif kebebasan berpendapat, freedom of press. Pers menjadi tidak sepenuhnya kritis. Setiap rezim yang berkuasa pada dasarnya berkepentingan untuk dapat melestarikan kekuasaannya, dalam rangka inilah, rezim yang berkuasa akan selalu berusaha memanfaatkan wacana media dalam hal ini pers, untuk dapat menjaga legitimasi kekuasaan yang sedang berlangsung., dan bahkan sebaliknya, untuk mendeligitimasi pihak-pihak yang menghendaki perubahan (Sudibyo, 2001). Oleh karenanya tidak jarang pers yang kemudian menjadi tidak independen. Keberpihakan pers terhadap rezim yang berkuasa atau bahkan pemilik modal justru semakin terlihat ,alih-alih untuk menjaga kredibilitas. Independensi pers, Freedom of press, bahkan bentuk kritis masyarakat yang tertuang melalui pers banyak di pertanyakan. Campur tangan pihak yang berkepentingan cenderung melunturkan asas demokrasi terkait dengan hak asasi manusia perihal kebebasan berpendapat yang sudah barang tentu ada dalam tubuh pers, Ketika pers sudah dikendalikan kemudian tidak lagi menjadi kritis, maka disitulah terjadi degradasi terhadap demokrasi. Representasi demokrasi melalui kebebasan berpendapat tidak lagi tercapai. Hal ini menjadi ironi, disaat komitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai komunitas yang tidak hanya milik elit, namun juga people oriented kemudian komunitas ASEAN yang berusaha membangun good governance dan menjamin Hak Asasi di dalamnya melalui saluran demokrasi dengan cara mendorong kebebasan berpendapat, keterbukaan media yang pada akhirnya menyoroti tindak pelanggaran HAM dengan tajam dan kritis (Karisma, 2010), justru menjadi elemen yang tidak mendukung proses demokrasi dengan unsur kritis pers yang secara tidak langsung terbungkam oleh kendali pihak berkepentingan.


Daftar Pustaka

Hairi, M. I. (2015). Sistem Pemerintahan Soft-Authoritarian Singapura Ditengah Arus Demokrasi . JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIKVOLUME xx No. Xx, 5.

Karisma, G. (2010). Tantangan Demokrasi bagi Perwujudan Komunitas ASEAN. diakses April 5, 2018, dari setnas-asean.id: http://setnas-asean.id/site/uploads/document/journals/file/59b0e7221d75b-3-kluster-polkam-unila.pdf

Lellolsima, S. (2018, Februari 18). UU MD3 Kriminalisasi Kebebasan Pers! diakses April 5, 2018, dari RMOL.CO: http://politik.rmol.co/read/2018/02/18/327145/UU-MD3-Kriminalisasi-Kebebasan-Pers!-

Purnomo, A. (2009, Agustus 12). Kebebasan Pers di Indonesia Dinilai Terbaik di ASEAN . diakses April 4, 2018, dari TEMPO.CO: https://nasional.tempo.co/read/192167/kebebasan-pers-di-indonesia-dinilai-terbaik-di-asean

Sudibyo, A. (2001). Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.


-Penulis

Taqiya Arini Putri

Universitas Padjajaran

Peringkat 2 Essay Competition

33 views0 comments

Kommentare


bottom of page