Oleh : Uswatun Khasanah
Sejak kudeta yang terjadi di Thailand pada 22 Mei 2014, rakyat Thailand dipaksa untuk hidup dibawah kendali pemerintahan Junta (kediktatoran militer). Pemerintah militer tersebut telah menjalankan kekuasaan negara yang sangat ekstrim dimana rakyat Thailand tidak dapat membantah dan tidak dapat memberikan kritik terhadap pemerintah selama 6 tahun terakhir. Di tahun 2014, setelah pemerintah militer mendapatkan kekuasaan, lebih dari 100 aktivis politik mengungsi ke luar negeri dan setidaknya 2 dari 6 orang yang dikabarkan hilang dipastikan meninggal dunia. Latar belakang dibalik kekerasan tersebut adalah untuk mengintimidasi dan membungkam rakyat yang menentang militer Thailand.
Gambar 1.1 : Seorang pengunjuk rasa mengangkat tanda saat demonstrasi di Bangkok
Rakyat Thailand, terutama mahasiswa menolak untuk mentolerir kekejaman dan ketidakmampuan mereka untuk bersuara dan mengambil keputusan. Sejak Thailand melakukan lockdown akibat Covid-19, anak-anak muda dan mahasiswa berdiskusi online untuk membahas topik-topik terlarang, termasuk sistem pemerintahan monarki yang mereka rasakan. Atas dasar hal ini, para mahasiswa dan anak-anak muda tersebut mengambil keputusan untuk melakukan protes di jalanan. Protes gelombang pertama terjadi pada akhir bulan Februari 2020 yang dipicu oleh pembubaran sebuah Partai oposisi bernama Future Forward Party yang populer di kalangan anak muda. Partai tersebut mengkritik Prayuth Chan-ocha (Perdana Menteri Thailand) serta konsep politik negara yang dirancang dari konstitusi 2017 yang digunakan saat ini. Protes gelombang pertama diadakan secara eksklusif di berbagai kampus namun dihentikan akibat Covid-19. Pada bulan Juni, rakyat Thailand semakin marah kepada pemerintah karena meningkatnya kesulitan ekonomi serta hilangnya Wanchalearn Satsaksit yang merupakan seorang aktivis anti pemerintah Thailand di Kamboja.
Protes kembali terjadi pada 18 Juli dengan jumlah demonstran yang sangat besar. Protes ini diadakan oleh kelompok anak muda dan mahasiswa dengan nama Gerakan Rakyat Merdeka di depan Monumen Bangkok. Demonstrasi ini menarik banyak pehatian masyarakat luas sehingga pada 16 Agustus, lebih dari 20.000 orang kembali berkumpul di Monumen Bangkok dengan membawa berbagai papan tulisan dan berulang kali meneriakkan “Long Live Democracy” (globalvoices.org). Simbol protes adalah salam tiga jari yang terinspirasi dari film The Hunger Games dan tagar #WhatshappeninginThailand digunakan di media sosial Twitter.
Mahasiswa menuntut tiga hal dalam protes ini, yaitu pemerintah harus membubarkan parlemen, pemerintah harus berhenti mengancam kebebasan warga sipil dan konstitusi baru harus dirancang. Mahasiwa dengan berani menuntut batasan pada kekuatan raja, sedangkan hal tersebut merupakan masalah yang sangat besar di Thailand mengingat bahwa mengatakan hal yang salah tentang monarki dapat dipenjarakan. Mereka juga ingin memotong anggaran istana, memisahkan kehidupan pribadi raja dari aset kerajaan serta pengawasan parlementer atas monarki.
Gambar 1.2. : Mahasiswa Thailand memberi hormat selama protes pro-demokrasi di Universitas Thammasat, Bangkok
Pada tanggal 17-19 Agustus 2020, Thai Lawyer for Human Rights (TLHR) mencatat 103 kasus dimana siswa telah dilecehkan atau dicegah untuk mengungkapkan suara mereka, termasuk untuk ikut dalam aksi protes seperti memberi salam tiga jari dan mengenakan pita putih. Polisi menangkap banyak peserta demonstrasi dengan berbagai tuduhan dan kekhawatiran meningkat pada anak-anak sekolah dan remaja yang mengikuti protes tersebut. Hal ini membuat UNICEF melakukan tindakan pada tanggal 18 Agustus dengan menyerukan perlindungan anak-anak dan remaja yang mengikuti protes, menyusul adanya insiden dugaan intimidasi oleh pihak sekolah di seluruh negeri Thailand. Dalam sebuah pernyataan, UNICEF mengatakan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh Thailand harus menjamin hak anak di bawah umur atas kebebasan berekpresi dan berkumpul secara damai, termasuk dalam protes damai yang mereka ikuti, tanpa diintimidasi (nationthailand.com).
Sistem monarki di Thailand mungkin telah bekerja dengan baik selama berabad-abad yang lalu, tetapi sekarang adalah tahun 2020 dimana dunia telah banyak berubah. Menolak untuk maju ketika semua orang bergerak maju kedepan adalah hal yang monorik. Tidak sedikit demonstran yang telah ditangkap dan dipenjarakan selama protes berlangsung, tetapi para pelajar tidak pernah mundur. Ini merupakan sebuah generasi baru anak muda yang menunjukkan keberanian yang dapat mengejutkan orang-orang yang lebih tua.
Menanggapi hal ini, beberapa warga Thailand meminta organisasi internasional untuk memberikan bantuan khususnya UNICEF, dikarenakan mereka merasa bahwa kebebasan berbicara dan berekspresi telah dicuri oleh pemerintah Junta dengan menindak keras perbedaan pendapat secara memaksa, melakukan sensor media, dan melarang pertemuan publik. UNICEF seharusnya dapat bekerja sama dengan organisasi internasional lainnya (NGO) yang terdapat di Thailand untuk lebih menyuarakan perlindungan terhadap anak-anak dan pelajar yang mengikuti protes tersebut dikarenakan para pelajar berjanji untuk melakukan protes-protes lainnya di minggu-minggu yang akan datang.
Comments